JAKARTA – Limbah kayu biasanya hanya dimanfaatkan menjadi kayu bakar. Tapi tidak dengan limbah kayu jati di tangan Slamet Sutrisno (30). Bagi pria asal Desa Gebyar, Kel. Crewek, Kec. Kradenan Kabupaten Grobogan Jawa Tengah ini di tangannya limbah kayu jati bisa menjadi barang sangat berharga. Slamet memanfaatkannya sebagai bahan untuk membuat miniatur berbagai struktur yang bernilai seni tinggi.
Slamet Sutrisno, awalnya seorang tukang kayu, mulai membuat miniatur dari serpihan kayu pada tahun 2017. Kesuksesannya pertama kali datang dengan miniatur masjid, berkembang menjadi karya-karya yang lebih besar. Bukti dari keterampilan dan kreativitas Slamet Sutrisno, telah terwujud berbagai macam miniatur seni dan replika, mulai dari kapal pengeboran dan rig lepas pantai hingga platform WHP, mesin berat, kapal tangki, kapal, kapal pesiar, bahkan bangunan-bangunan bersejarah
Dari awalnya hanya membuat miniatur masjid dan dihargai sebesar Rp 150 ribu, kini Slamet menjadi perajin miniatur industri migas yang nilai satu produk minitaturnya ada yang dihargai hampir Rp 100 juta. Tak hanya itu pelanggannya pun hampir semuanya perusahaan asing yang ada di luar negeri.
“Total produk miniatur kami sudah dikirim ke sekitar 24 negara,” kata Slamet, saat ditemui di sela-sela IPA Convention & Exhibtion 2024 di ICE BSD, Tangsel, Provinsi Banten, Rabu (15/5).
Slamet memajangkan beberapa hasil karyanya di booth milik Swa Multi Persada, (Swa MP) sebuah perusahan jasa industri migas terintegrasi. Hasil karyanya yang dipajang antara lain miniatur kapal pengeboran West Capell, rig Blue Whale 1 serta Jack Up rig yang 100 persen bahannya dari limbah kayu jati. Sementara itu, Swa Multi Persada merupakan perusahaan yang membina UMKM milik Slamet dalam mengembangkan usahanya yang dilabeli dengan Markas Miniatur Jati.
Saat ini Slamet menerima pesanan pembuatan miniatur terkait industri migas yakni kapal pengeboran dan berbagai macam rig. Hampir semua pesanan saat ini justru mayoritas dari perusahaan-perusahaan migas yang ada di luar negeri. “Saat ini ada sekitar sembilan pesanan yang sedang kami kerjakan,” kata dia.
Slamet mengakui, keahlian membuat miniatur didapatnya secara otodidak.
Setelah lulus SMP, karena kondisi ekonomi, mengingat orangtuanya hanya petani, Slamet harus menguburkan impiannya untuk melanjutkan sekolah ke SMA. Slamet pun akhirnya memutuskan untuk kerja serabutan dan salah satunya bekerja menjadi tukang serut kayu.
“Latar belakang saya lebih ke tukang kayu, memang dari kecil saya suka hal-hal yang berkaitan dengan kayu. Mungkin saya awalnya hobi dan saya beranggapan sesuatu yang dicintai itu akan indahlah jadinya,” kata dia.
Saat bekerja sebagai tukang serut kayu itu lah Slamet mulai belajar. Sepulang kerja Slamet selalu membawa limbah atau sisa kayu yang tidak terpakai. Setelah diolah dengan peralatan seadanya, Slamet mampu menjadikan limbah itu miniatur sebuah mesjid yang dikerjakannya dalam empat malam. “Karya saya pertama itu ternyata ada yang mau beli dan dihargai Rp 150 ribu,” kata dia. Slamet akhirnya semakin semangat untuk membuat lagi, hingga mampu memproduksi lima unit lagi dan laku semua.
Slamet sempat merantau ke Jakarta dan saat menikahi gadis asal Cianjur, Jawa Barat, Slamet memutuskan untuk tinggal di kampung halamannya. Untuk menyambung hidup Slamet mencoba menekuni kembali keahliannya membuat miniatur dari limbah kayu dan memasarkan lewat media sosial dan dari mulut ke mulut.
Jalan terbuka lebar saat Slamet untuk pertama kalinya mendapatkan pesanan dari customer yang berasal dari India, berupa kapal pengeboran. Hasil karya Slamet ternyata diposting oleh customer tersebut di media sosial LinkedIn. Kabar itu sampailah ke Slamet. Slamet yang tidak tahu tentang LinkedIn akhirnya membuka akun di LinkedIn, karena selama ini dia hanya menggunakan medsos facebook dan Instagram untuk memasarkan produk-produk miniaturnya. “Setelah saya mempunyai akun LinkedIn, dalam seminggu follower saya mencapai 500 an dan saat ini sudah hampir 10 ribu follower, nah customer luar negeri yang memesan itu melalu LinkedIn sampai sekarang,” kata dia.
Pada 2019 setelah menjalani usaha selama dua tahun, Slamet mulai berani merekrut tetangganya. Tiap pesanan biasanya diselesaikan dalam waktu rata-rata dua minggu. “Kalau sendiri mengerjakan bisa sampai satu bulan,” kata Slamet. Kini Slamet memiliki empat karyawan untuk membantunya yang dibayar sekitar 100 ribu hingga 150 ribu per orang setiap hari.
Satu pesanan miniatur saat ini kata Slamet paling rendah tarifnya sebesar Rp 20 juta hingga Rp 30 juta. Namun untuk pesanan dengan kerumitan yang tinggi bisa dibandrol sekitar 6000 dolar atau sekitar Rp 90 juta. “Dikerjakan rata-rata selama dua pekan dengan bantuan sekitar 4 pekerja yang saya rekrut dari tetangga,” kata dia.
Usaha Slamet semakin dikenal setelah mendapatkan pendampingan dari PT Swa Multi Persada. Berawal dari PT Swa yang melakukan pemesanan kepada Slamet dan terjalinlah hubungan baik antara Slamet dan PT Swa. Setelah mengetahui kendala Slamet dalam memasarkan bisnisnya, akhirnya pihak PT Swa melakukan pendampingan sebagai bagian dari program CSR perusahaan untuk lebih memajukan usaha Slamet.
Bantuan dari PT Swa diberikan dalam bentuk modal kerja serta bantuan promosi dalam mengenalkan produk Slamet. “Untuk promosi ini kan butuh mdoal besar juga, dengan bantuan PT Swa pokoknya saya tinggal berangkat, difasilitasi secara gratis, termasuk pertama kali mengikuti pameran di IPA ini,” kata Slamet.
Ke depannya, bersama dengan PT Swa, impian Slamet adalah bisa mengikuti pameran di luar negeri. Slamet pun berharap usahanya bisa semakin berkembang dan berjalan lebih baik lagi sehingga bisa banyak menambah pasar di internasional dan juga dalam negeri. “Kalau semakin banyak pesanan, saya bisa semakin banyak nambah tenaga kerja,” kata dia. Sementara untuk pasokan kayu, kata dia sejauh ini tidak ada kendala mengingat di derahnya banyak limbah kayu jati yang bisa dimanfaatkan.
Saat ini sejumlah negara telah menjadi tujuan produk miniatur Slamet. Negara-negara tersebut diantaranya Brunei, Malaysia, Singapura, Thailand, China, Pakistan, India, Uni Emirat Arab, Kuwait, Arab Saudi, Irak, Inggris, Jerman, Belanda, Rusia, Lituania, dan Amerika Serikat serta sejumah negara lainnya. “Paling sering kirim ke Dubai, Belanda, Amerika dan bidang migas itu hampir 98 persen itu miniatur industri migas,” papar Slamet.
Sementara itu Dionysius Irwanto, Komisaris PT Swa Multi Persada, beharap CSR program pendampingan UMKM milik Slamet bisa membantu Slamet agar karyanya dapat dikenal lebih luas lagi dalam industri migas Indonesia.
Dionysius mengaku sangat terenyuh untuk membantu Slamet yang ditemuinya 4 tahun lalu. “Produk UMKM Pak Slamet ini sudah terkenal di luar negeri, sementara di Indonesia peminatnya masih sedikit jadi kita bantu untuk promosikan,” kata Dionysius.
Dionysius mengakui bahwa UMKM sejenis ini sebetulnya banyak, terutama yang menggunakan bahan plastik dan metal, seperti kuningan. “Tapi yang fokus ke miniatur untuk industri migas hanya Pak Salmet,” kata Dionysius . Dia pun berharap produk Slamet bisa semakin dikenal di kalangan industri migas nasional. ***