Jakarta – Energy security atau ketahanan energi menjadi fokus utama setiap negara di tengah dinamika global yang terkena impact dari gejolak geopolitik. Di samping mengamankan energi domestik, Indonesia pun berada di masa transisi energi sehingga tak meluputkan perhatian agar dinamika yang ada tidak berdampak signifikan terhadap upaya transisi energi. PGN sebagai Subholding Gas Pertamina berkomitmen agar bisa berperan optimal dalam hal tersebut.
Dalam sesi Energy & Economic Outlook Gasfest 2024, SKK Migas menyoroti agar perkembangan pasar gas bumi semakin meningkat untuk mengamankan Indonesia dari voltalitas energi, dan dapat seimbang dengan upaya SKK Migas bersama K3S menjaga minat investasi di sektor hulu migas. Maka dukungan PGN dibutuhkan untuk memperluas pasar agar gas terserap lebih banyak.
“Setelah infrastruktur gas bumi tersedia, PGN bisa membawa gas bumi dari Jawa Timur ke Jawa Barat yang sangat membutuhkan gas. Peran PGN juga diperlukan dalam percepatan infra WNTS-Pemping untuk membawa gas dari Natuna ke pasar domestik,” ujar Rayendra Siddik selaku Head of Oil and Gas Comercialization Division SKK Migas.
Atensi SKK Migas terhadap kebutuhan energi domestik sejalan dengan komitmen Pertamina dalam ketahanan energi nasional dan mengurangi impor. Mewakili Pertamina, Direktur Logistik & infrastruktur Pertamina Alfian Nasution berharap agar PGN sebagai Subholding Gas Pertamina dapat meningkatkan kontribusi melalui pengembangan jargas rumah tangga untuk impor LPG serta kerjasama dengan subholding lain untuk ketahanan energi.
“Cara mengurangi impor LPG dengan dengan menambahkan pengunaan gas bumi dalam engeri, termasuk rumah tangga dan industrial. Dukungan pemerintah kami harapkan untuk membangun jargas lebih banyak,” imbuh Komisaris Utama PGN, Amien Sunaryadi.
Peran gas juga menjadi tantangan bagi Pertamina di masa transisi sekaligus mengisi strategi low carbon Pertamina. Beberapa pembangkit di refinery atau upstream dicanangkan akan menggunakan gas, sehingga PGN punya peran utama untuk ketersediaan gasnya.
“Energi fosil akan mencapai puncak pada 2030, diprediksikan NRE seperti matahari angin biofuel akan memiliki 40-45% dari total kebutuhan energi. Meski demikian, kebutuhan gas tetap meningkat, sehingga menjadi potensi besar bagi PGN dalam menggarap transisi energi,” ujar Alfian.
Support dari berbagai pihak menambah masukan yang berarti bagi PGN. Apalagi untuk dalam antisipasi perkembangan makro dan global terkait energi fosil utamanya gas di masa trasisi saat ini. “Untuk itu, kami berkomitmen untuk menyambungkan infrastruktur. Wilayah timur sama sekali tidak ada pipeline, sehingga harus ada model lain yakni beyond pipeline. PGN akan senantiasa menjalankan penyaluran gas dan menjaga reability,” sambut Direktur Utama PGN Arief Setiawan Handoko.
PGN juga memang melihat dalam konteks infrastruktur gas bumi di Indonesia bagian Timur, diperlukan logistik scheming yang lebih. Salah satunya dengan shipping untuk bisa bergerak mendukung transisi energi yang lebih sustain, apalagi Indonesia kondisi geografi Indonesia sebagai negara kepulauan.
Peluang pemanfaatan gas bumi di masa transisi akan PGN ambil dengan integrasi infrastruktur eksisting agar semakin berkembang. Dengan integrasi akan dapat memenuhi kebutuhan demand-demand di kota-kota baru, kawasan-kawan industri, transportasi melalui CNG dan transportasi laut. Selain itu, mengejar agreasi dengan memenuhi kebutuhan gas bumi di sektor pembangkis listrik, refinery milik Pertamina, dan anchor buyer lainnya.
Mangesh Patankar, Vice President Gas and LNG Consulting Wood Mackenzie mengungkap bahwa setiap negara memiliki skema tersendiri dalam mengamankan energinya. Aspek affordability energy suatu negara berperan penting sekaligus kritikal, karena aspek ini juga menentukan bagaimana setiap negara bergerak untuk menuju target Net Zero Emission. “Pada akhirnya nanti bagaimana energy mix dapat diseimbangkan dengan affordability energi yang sudah ada,” kata Mangesh.