Friday , November 22 2024

Indonesia Andalkan LNG di Era Energi Transisi,Infrastruktur Harus Disiapkan

JAKARTA- Transisi energi di Indonesia dengan memanfaatkan gas bumi semakin nyata terwujud. Ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang sudah menyatakan komitmen untuk menurunkan emisi. Kebutuhan akan energi yang masih sangat besar dan terus meningkat membuat gas jadi solusi. Selain cadangannya yang masih besar, emisi yang dihasilkan juga jauh lebih rendah ketimbang energi fosil lain, bahkan ke depan LNG akan punya peran utama dalam bisnis gas di Tanah Air.

Berdasarkan data Indonesia Gas Society (IGS), temuan gas saat ini banyak terdapat di Indonesia Bagian Timur, sedangkan kebutuhan didominasi di Indonesia Bagian Barat sehingga gas dalam bentuk LNG akan jadi pilihan utama. Saat ini kebutuhan gas di Sumatera dan Jawa saja mencapai hampir 3.000 MMscfd. Jumlah itu akan terus meningkat menjadi sekitar 4.000 MMscfd hingga 2040. Secara keseluruhan kebutuhan gas dalam negeri terus tumbuh dari 4.000an MMscfd mendekati 6.000an MMscfd pada 2040 yang akan dipasok melalui LNG, apalagi jika tidak ada temuan baru LNG akan didatangkan dari luar negeri.

Salis Aprilian, Senior Advisor Indonesia Gas Society (IGS), menyatakan untuk mengantisipasi banyaknya temuan cadangan gas serta penggunaan LNG yang bakal semakin meningkat maka infrastruktur harus disiapkan.
“Saat ada temuan belum bisa sampai ke konsumen gas. Ini bottleneck sehingga kita tidak bisa produksikan temuan gas. Tantangan berikutnya adanya aturan justru masih membuat pengembangan dari lapangan gas ini lebih birokratik,” ungkap Salis dalam Media Forum yang digelar IGS di Jakarta, Kamis (13/6).

Indonesia Gas Society (IGS) menggandeng Rystad menghasilkan Indonesian Gas Market White Paper yang menggambarkan kondisi industri gas bumi di Indonesia. Kajian tersebut juga menjabarkan tiga tantangan utama pengembangan bisnis gas bumi. Pertama, pasokan gas eksisiting yang menurun akibat natural declining. Kedua, keterbatasan infrastruktur menghambat monetisasi lapangan-lapangan gas yang jauh dari sumber demand. Ketiga, ketidakjelasan peraturan dan panjangnya proses birokrasi dalam bisnis gas menyebabkan ketidakpastian waktu proyek dan memperburuk keekonomian.

Untuk mengatasi dampak tersebut, IGS mengusulkan beberapa rekomendasi yang bisa jadi cara untuk menghadapi berbagai persoalan, yaitu pemberian insentif untuk pengembangan infrastruktur dan pengembangan hulu migas dalam bentuk: keringanan pajak, pendanaan dengan bunga rendah, public private partnership, dan mempersingkat birokrasi dan persetujuan dalam perizinan gas bumi. IGS juga merekomendasikan pemerintah untuk mengevaluasi secara menyeluruh atas kebijakan HGBT. Selain itu IGS juga mendorong adanya keterlibatan seluruh stakeholders dalam penyusunan kebijakan dan aturan sehingga dapat diaplikasikan dan mendukung perkembangan industri gas.

Aris Mulya Azof, Chairman IGS, menyatakan tantangan yanh dihadapi industri gas harus dihadapi melalui kolaborasi semua pihak. “Kami dari IGS punya tanggung jawab mendorong pengembangan gas di Indonesia dan memberikan masukan keada pemerintah untuk bisnis gas mengenai upstream, midstream dan downstream,” ungkap Aris.

Bayu Satria Pratama, Chairman Regulatory and Government Affairs Committee IGS, menjelaskan ke depan LNG yang diproduksikan di Indonesia Bagian Timur dapat dikirim ke Jawa Bagian Barat atau Sumatera atau diekspor jika ada kelebihan. Dengan penurunan gas pipa dari Sumatera Selatan, LNG akan semakin dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan gas di jawa barat.

“Ini yang kita bilang bisnis gas Indonesia shifting dari gas pipa Blok Corridor, Sumatera Selatan yang selama ini menjadi sumber pasokan selama bertahun-tahun untuk wilayah Jawa Barat, shifting ke LNG. di tahun 2024 ini PGN juga sudah mulai menggunakan LNG sebagai pasokan untuk sektor industri, sementara PLN sudah pakai LNG sejak tahun 2012 saat beroperasinya FSRU Nusantara Regas,” ujar Bayu. Dengan komitmen untuk penurunan emisi, kebutuhan pembangkit gas akan terus meningkat dimasa yang akan datang, selain itu tambahan demand tambahan seperti smelter juga akan segera masuk. “Siap atau tidak, shifting dari gas ke LNG sudah dimulai, perubahan bisnis gas Indonesia ke depan akan jadi LNG business.”

Di sisi lain terdapat hambatan berupa keterbatasan infrastruktur. Ketersediaan infrastruktur untuk menerima LNG dari Indonesia Bagian Timur yang memiliki banyak sumber gas belum cukup memadai. “Kalau kita lihat di jawa dan sumatera selatan saat ini hanya hanya ada tiga receiving terminal yang memiliki keterbatasan dari sisi kapasitas penyimpanan dan juga kemampuan regasifikasinya. Ke depan perlu ada peningkatan kapasitas fasilitas regasifikasi di Jawa Barat agar dapat memenuhi kebutuhan di wilayah tersebut” ungkap Bayu.

Edi Armawiria, Executive Committee IGS, menuturkan pengembangan bisnis gas bumi harus mempertimbangan sinergi Supply, Demand, dan Infrastruktur dan ujungnya adalah harga yang dihasilkan melalui supply chain cost. “Konsep sinergi ini memperhatikan pertumbuhan demand sesuai target dan rencana dari sektor pengguna,” kata Edi.

Untuk memenuhi kebutuhan demand tersebut, penyediaan supply dengan menggunakan infrastruktur paling efektif dan efisien menjadi pertimbangan utama, sehingga dapat memenuhi target beragam willingness to pay dari sektor pengguna.

Menurut Edi, optimalisasi portfolio supply dan infrastruktur dengan konsep agregasi komoditas dan integrasi infrastruktur, merupakan terobosan yang diperlukan untuk mendukung cost efficiency penyediaan gas bumi di Indonesia. “Sinergi antarsektor pengguna dari listrik, refinery, smelter, industri, dan lainnya dengan aggregator termaksud dalam merencanakan pembangunan fasilitas menjadi faktor utama keberhasilan pengembangan bisnis gas,” ujarnya.

Cek juga

Dukung Keberlanjutan Energi, PT Pertamina EP Berpartisipasi di ADIPEC 2024

JAKARTA, Fokusenergi.com – PT Pertamina EP selaku Regional Jawa Subholding Upstream Pertamina, menjadi salah satu …