JAKARTA – Sehari setelah dilantik menggantikan Arifin Tasrif (19/8/2024), Menteri ESDM Bahlil Lahadalia memberi arahan kepada jajaran Kemetrian ESDM (KESDM) agar penyelesaian Rancangan Undang-Undang Energi Baru Energi Terbarukan (EBET) dipercepat. Arahan lain, agar program B40 bisa segera diimplementasi, dan rencana program B50 tersusun (20/8/2024).
Berselang seminggu, KESDM menyatakan RUU EBET siap disahkan sebelum Pemerintahan Jokowi berakhir. Sekretaris Ditjen EBTKE Sahid Junaidi mengakui ada satu substansi pending, terkait pemanfaatan bersama jaringan transmisi. Substansi pending ini jelas tentang skema power wheeling (PW). Kata Said: ”Ini kami coba optimalkan, sehingga RUU EBET ini bisa disahkan di dalam periode ini. Jadi di satu dua minggu kedepan,” (26/08/2024).
Maka, dalam masa bakti kabinet yang tinggal dua bulan, bermunculan spekulasi terkait motif di balik pergantian Arifin. Arifin dianggap kurang optimal menuntaskan agenda oligarki memasukkan skema power wheeling ke dalam UU EBET. Hal lain, Arifin dianggap tidak favourabel menuntaskan izin tambang ormas keagamaan. Tampaknya hal-hal tertunda ini akan segera tuntas di tangan Bahlil.
Penunjukan Bahlil dapat pula dianggap bagian dari konsolidasi oligarki sebelum pergantian pemerintahan. Pengangkatan Bahlil juga sarat konflik kepentingan penguasa yang juga pengusaha tambang. Sebab, Bahlil merupakan pebisnis tambang, sebagaimana juga sejumlah penguasa, hingga ke lingkungan istana, yang juga terkait dengan industri tambang.
Sebagai presiden mendatang, kita berharap Prabowo mau dan mampu mengakhiri agenda oligarki yang merugikan ini. Khusus tentang skema PW, di samping melanggar konstitusi dan berbagai peraturan yang berlaku, penerapan skema ini juga akan merugikan keuangan negara dan BUMN, serta akan menambah beban biaya hidup rakyat.
Aspek Legal-Konstitusional
Alasan pertama dan utama yang paling mendasar mengapa skema PW harus ditolak adalah karena bertentangan dengan konstitusi, Pasal 33 UUD 1945 yang mengamanatkan sektor strategis menyangkut hajat hidup orang banyak harus dikuasai negara. Dalam hal ini negara diwakili BUMN sebagai pengelola. Jika skema power wheeling diterapkan, maka otomatis penguasaan negara tidak terpenuhi karena sebagian beralih kepada swasta.
Kedua, Putusan MK No.36/2012 telah menjelaskan dan mempertegas peran penguasaan negara menguasai sektor strategis dan menyangkut hajat hidup orang banyak melalui ketentuan bahwa pengelola hajat hidup rakyat tersebut adalah BUMN/PLN, bukan swasta.
Ketiga, Putusan MK No. Putusan 001-021-022/PUU-I/2003 menyatakan bahwa kebijakan pemisahan usaha penyediaan tenaga listrik dengan sistem unbundling (dalam UU No.20/2002) mereduksi makna dikuasai negara yang terkandung dalam Pasal 33 UUD 1945. Sehingga, sistem unbundling yang berisi skema PW juga inkonstusional, dan harus ditolak.
Keempat, Putusan MK No.111/PUU-XIII/2015 menyatakan usaha ketenagalistrikan yang dilakukan secara kompetitif dan unbundling bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945. Dijelaskan, listrik sebagai public utilities tidak bisa diserahkan ke mekanisme pasar bebas, karena para pihak mengambil keputusan berdasar pasokan dan permintaan.
Aspek Ekonomi-Sosial-Politik
Putusan MK No. 001-021-022/PUU-I/2003 menjelaskan dalam mekanisme pasar bebas yang diuntungkan adalah pemilik modal dan yang terjadi adalah kerugian sosial pada masyarakat. Kebijakan unbundling dengan kompetisi terbuka, termasuk skema PW, merupakan upaya privatisasi pengusahaan tenaga listrik dan telah menjadikan tenaga listrik sebagai komoditas pasar. Hal ini dapat berarti negara tidak lagi memberikan proteksi kepada mayoritas rakyat yang hidup kekurangan secara ekonomi.
Secara sosial, melalui kebijakan liberal ini, negara justru berlaku tidak adil dan bekerja memihak swasta. Yakni memberi kesempatan kepada para pemilik modal, atau bahkan investor asing menikmati keuntungan besar, namun pada saat yang sama menghisap rakyat untuk membayar energi listrik lebih mahal. Padahal, sesuai kosntitusi, kesempatan tersebut harus diberikan kepada BUMN, yang menurut konstitusi adalah pemegang hak monopoli.
Skema PW memberi kesempatan swasta/IPP memangsa para pelanggan premium PLN yang umumnya butuh daya tinggi dan membayar tagihan listrik besar. Hal ini akan merugikan dan mengurangi pendapatan PLN, sehingga kemampuan cross-subsidy kepada rakyat miskin dan tertinggal berkurang, tarif listrik naik dan beban subsidi energi APBN meningkat.
Pemaksaan kebijakan skema PW diduga sarat moral hazard. Tindakan moral hazard ini dapat pula dilanjutkan dengan pembangunan pembangkit listrik EBET milik swasta/IPP tanpa peduli kondisi over supply listrik, atau menyuntik mati PLTU-PLTU yang sebenarnya masih layak operasi dan layak ekonomi. Maka, beban biaya operasi PLN akan naik signifikan, dan berujung pada naiknya tarif listrik rakyat dan beban subsidi listrik APBN meningkat.
Aspek Pembentukan UU
Ada lima tahap dalam proses pembentukan sebuah UU, yakni perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan, dan pengundangan. Proses pembentukan UU EBET harus mengikuti tahapan ini. Juga harus sesuai konstitusi dan UU berlaku yang memuat azas-azas keterbukaan, demokrasi, akuntabilitas dan partisipasi publik. Azas-azas ini, pertama, Pasal 27 ayat (1) UUD 1945: “Segala warga negara bersamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecuali”.
Kedua, Pasal 28 UUD 1945: “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dsb. ditetapkan dengan undang-undang”.
Ketiga: Pasal 28C ayat (2) UUD 1945: “Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya”.
Keempat, Pasal 96 UU No.12/2011 (berubah jadi UU 15/2019) ayat (1): Masyarakat berhak memberi masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam pembentukan UU. Ayat (2): Untuk memudahkan memberikan masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap RUU harus dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat.
Belajar dari praktik berlangsung selama pemerintahan Jokowi, azas-azas pembentukan UU di atas sudah sering dilanggar. Hal ini tampaknya akan berlaku pada RUU EBET. Sejumlah UU dibentuk sangat cepat melalui pendekatan kekuasaan oligarkis dan diduga sarat prilaku moral hazard, seperti UU Ciptaker No.6/2023, UU Minerba No.3/2020, UU IKN No.21/2023. UU Minerba dan UU IKN diselesaikan masing-masing hanya dalam waktu 4 bulan dan 44 hari.
UU EBET bisa saja selesai 3 minggu ke depan, tanpa peduli azas konstitusi dan hak rakyat. Pemerintah sering menyatakan, jika tidak puas atau melanggar konstitusi/UU dalam proses (formil) dan konten (material) UU, rakyat dipersilakan mengajukan judicial review (JR) ke MK.
Padahal, jika menyangkut kepentingan oligarki (UU IKN, Minerba dan Ciptaker), MK justru memihak pemerintah. Jangankan JR UU EBET yang masih akan dibentuk, atas Putusan MK yang sudah inkrah pun, pemerintahan oligarki tidak peduli, seperti terjadi atas dua kali JR UU Kelistrikan (No.20/2002 dan UU No.30/2009). Bahkan oleh pemerintahan oligarki, peraturan menteri, yakni Permen ESDM No.1/2015 bisa mengabaikan konstitusi dan daulat rakyat oligarki. Sehingga skema PW bisa dijalankan dengan alasan untuk kalangan sendiri.
Dengan uraian di atas, pemerintah dan DPR diingatkan bahwa skema PW jelas tidak adil secara moral Pancasila, inskonstitusional, serta akan merugikan rakyat dan negara dengan beban tarif listrik dan beban subsidi APBN yang akan naik. Prabowo sebagai presiden terpilih mestinya sejak sekarang sudah mulai berbuat bagi negara dan rakyat, agar skema tidak adil, liberal, pro oligarki dan pro asing ini tidak diimplementasikan dalam UU EBET.