Jakarta – Perusahaan pertambangan dan pemrosesan nikel terintegrasi
berkelanjutan PT Trimegah Bangun Persada Tbk (NCKL) atau Harita Nickel melanjutkan upaya efisiensi operasi dengan merampungkan pembangunan smelter feronikel (FeNi) PT Karunia Permai Sentosa (KPS) pada Januari 2025. Fase pertama smelter dengan teknologi Rotary Kiln Electric Furnace (RKEF) ini mencapai kapasitas penuh pada Maret 2025 dan berkontribusi pada penjualan dari lini RKEF Harita Nickel yang secara total mencapai 43.873 ton kandungan nikel dalam FeNi pada kuartal pertama 2025.
Dari lini bisnis pertambangan, Harita Nickel melakukan penjualan bijih nikel total sebesar 5,49 juta wmt (wet metric ton) kepada perusahaan afiliasi pada kuartal pertama 2025.
Sementara dari lini High Pressure Acid Leaching (HPAL) pada periode yang sama
tercatat sebesar 30.263 ton kandungan nikel, yang terdiri dari Mixed Hydroxide
Precipitate (MHP) sebesar 19.837 ton dan Nikel Sulfat (NiSo4) sebanyak 10.426 ton.
Mengutip laporan keuangan periode fiskal yang berakhir pada 31 Maret 2025,
perusahaan yang beroperasi di Halmahera Selatan, Maluku Utara ini mencatatkan
pendapatan sebesar Rp 7,13 triliun, laba kotor Rp 2,10 triliun dan laba yang dapat
diatribusikan kepada pemilik entitas induk sebesar Rp 1,66 triliun.
Penurunan harga nikel sepanjang dua tahun terakhir membuat industri nikel berada dalam kondisi belum terlalu baik. Data S&P Global menyebutkan harga nikel pada 2025 mencapai USD 15.078 per metrik ton, titik terendah sejak 2020. Sepanjang 2024, harga rata-rata tercatat sebesar USD 15.328 per metrik ton atau turun 7,7 persen dibandingkan
tahun sebelumnya.
Direktur Keuangan Harita Nickel, Suparsin D. Liwan dalam keterangan persnya
menyatakan, “Kondisi industri nikel saat ini membuat pelaku usaha melakukan berbagai upaya untuk mendongkrak efisiensi operasi, tak terkecuali Harita Nickel. Perusahaan terus melanjutkan pengetatan biaya operasional untuk semua bisnis unit dan fokus pada upaya menjaga kesehatan keuangan Perusahaan secara jangka panjang.”

Strategi operasi lain yang dilakukan adalah dengan dimulainya pekerjaan konstruksi
pabrik yang memproduksi kapur tohor atau quicklime, sebagai bahan pendukung proses HPAL dan akan meningkatkan efisiensi biaya bahan baku pendukung. Tantangan besar juga masih menggayuti industri nikel Indonesia, mulai dari dinamika geopolitik global, keseimbangan produksi, hingga standarisasi lingkungan yang ketat.
Menyadari hal ini, selain efisiensi, Harita Nickel juga menerapkan strategi keberlanjutan guna memastikan stabilitas pertumbuhan jangka panjang dengan merampungkan proses audit standar pertambangan internasional Initiative for Responsible Mining Assurance (IRMA). Audit ini akan menjadi yang pertama di Asia untuk perusahaan pertambangan
dan pemrosesan nikel terintegrasi.
Sebelumnya perusahaan juga telah menyelesaikan Responsible Minerals Assurance Process (RMAP) dari Responsible Minerals Initiatives
(RMI). Kedua audit ini memastikan praktik pengadaan nikel yang bertanggung jawab dan memenuhi standar yang berlaku di dunia internasional.
Harita Nickel juga telah menyelesaikan Landscape Level Nature Risk Assessment
(LNRA) yang memperkuat pengelolaan lingkungan dan memastikan pendekatan yang transparan dalam pengembangan berkelanjutan di konsesi baru. Komitmen Harita Nickel lainnya terhadap akuntabilitas dan transparansi dalam menerapkan prinsip-prinsip Lingkungan, Sosial, dan Tata Kelola (LST) ditunjukkan dengan menerbitkan laporan
keberlanjutan ketiganya.
Direktur Keberlanjutan Harita Nickel Lim Sian Choo menambahkan, “Perusahaan
berhasil melakukan peningkatan penggunaan energi berkelanjutan sebesar 29,8 persen dibandingkan tahun 2023.”
Salah satu kontribusi pengurangan emisi dilakukan Harita Nickel dengan melakukan
penanaman sebanyak 2.025 bibit bakau di Pulau Obi dan sebanyak 1.750 bibit di Kayoa, Halmahera Selatan, bekerja sama dengan pemerintah setempat pada tahun lalu.
“Ke depan, Harita Nickel akan terus memantapkan komitmennya untuk memaksimalkan efisiensi, mengoptimalkan pemanfaatan aset, dan mengintegrasikan nilai-nilai keberlanjutan dalam manajemen biaya. Termasuk mendorong inisiatif keberlanjutan,
pengembangan masyarakat dan inovasi teknologi,” pungkas Sian Choo.