Monday , May 5 2025

Menilai JET-P Indonesia by Climate Investment Funds (CIF). Riki Ibrahim : Perlu Dibubarkan?

Jakarta – Studi yang bertujuan untuk menilai sejauh mana JETP telah melaksanakan keterlibatan pemangku kepentingan secara inklusif, terpadu, dan berkelanjutan; memberikan rekomendasi untuk memperkuat dukungan para pemangku kepentingan terhadap JETP; serta menyampaikan temuan kepada Sekretariat JETP guna memperbaiki desain kebijakan dan implementasi komponen keterlibatan pemangku kepentingan dalam inisiatif Kemitraan Transisi Energi yang Berkeadilan (JETP) di Indonesia, telah dilaksanakan pada hari Jumat, 2 Mei 2025, di Hotel Pullman Thamrin.

Acara ini disponsori oleh Climate Investment Funds (CIF) dan difasilitasi oleh Climate Action Network Southeast Asia (CANSEA). Kegiatan ini menghadirkan dua kelompok peserta, yaitu Wakil dari organisasi profesi dan nirlaba yang bergerak di sektor energi terbarukan dan ketenagalistrikan, Riki Ibrahim dan wakil dari Federasi Pertambangan dan Energi Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia, Nikasi Ginting.

Adapun Riki Ibrahim, yang juga dosen program S2 energi terbarukan jurusan Energi Terbarukan, Universitas Darma Persada memberikan masukan dan rekomendasi sebagai berikut:
JETP Indonesia, yang diluncurkan pada November 2022, memiliki komitmen awal sebesar USD 10 miliar dari negara-negara anggota International Partners Group (IPG) dan USD 10 miliar tambahan dari sektor swasta melalui Glasgow Financial Alliance for Net Zero (GFANZ). Namun, skema ini dinilai belum mampu bersaing dengan skema pendanaan dari bank-bank multilateral dunia.

Riki Ibrahim, Direktur Utama PT GeoDipa Energi (Persero)—salah satu Special Mission Vehicle (SMV) di bawah Kementerian Keuangan untuk periode 2016 – 2022, menyampaikan pandangannya berdasarkan pengalaman dalam berinteraksi dengan lembaga-lembaga pendanaan multilateral bank dunia. “Lembaga baru ini (JETP) belum memiliki pengalaman dalam hal pendanaan. Hal ini pada akhirnya menyulitkan para sponsor pendana untuk melanjutkan pencairan dana, terutama karena sebagian besar berbentuk pinjaman komersial dengan bunga yang lebih rendah dibandingkan pinjaman pasar, serta fasilitas blended finance yang seharusnya mendukung proyek-proyek transisi energi di Indonesia,” ungkap Riki.

Ia menambahkan bahwa dana hibah dan bantuan teknis yang telah disalurkan sejauh ini: “…telah digunakan untuk mendukung sejumlah program transisi energi, seperti studi pengembangan infrastruktur energi terbarukan, efisiensi energi, serta program pensiun dini PLTU.”

Riki yang saat ini juga menjabat sebagai Dewan Pakar Masyarakat Ketenagalistrikan Indonesia (MKI) menjelaskan bahwa “Pasar Energi Terbarukan Indonesia itu belum dapat bersaing layaknya sektor Migas dan Batubara di pasar International seperti di negara maju. “Rata-rata pendapatan masyarakat Indonesia menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita Indonesia pada tahun 2024 tercatat sebesar Rp 78,62 juta, yang setara dengan USD 4.960 per tahun (dengan asumsi kurs Rp 15.850 per USD), atau sekitar USD 413 per bulan”, ujar Riki.

Perlu dicatat bahwa “PDB per kapita itu, tidak sepenuhnya mencerminkan pendapatan individu, tetapi memberikan gambaran umum tentang tingkat kesejahteraan masyarakat”, tutur Riki.

Lebih jauh Riki menegaskan bahwa secara keseluruhan, meskipun ada peningkatan, pendapatan masyarakat Indonesia rata-rata, tetapi masih jauh berada di bawah angka USD 2.500 per bulan.

Proyek Energi Terbarukan untuk pemanfaatan tidak langsung atau untuk ketenagalistrikan itu “masih sangat perlu di bantu pendanaannya oleh multilateral bank dunia karena harga listrik untuk masyarakat Indonesia serta bunga pinjaman pendanaan proyek Energi Terbarukan itu masih harus rendah”, ujar Riki.

Lembaga JETP Indonesia sudah pasti akan lebih tinggi bunganya karena masih perlu memerlukan pengeluaran besar diawal untuk mendirikan/menetapkan/membentuk dan menetapkan → organisasi dan Lembaga kerja seperti multilateral bank dunia.
Riki berpendapat bahwa “hibah yang sudah dikeluarkan itu belum dirasakan manfaatnya oleh masyarakat Indonesia”.

Lebih dari 90% masyarakat Indonesia dari total sekitar 270 jiwa penduduk Indonesia, belum memahami pentingnya dan manfaat JETP Indonesia.
“Apalagi pendanaan ini pada akhirnya dibebani kepada anak cucuk kita semua”, ujar Riki.

Skema pembiayaan ini menggunakan pendekatan blended finance, yang menggabungkan modal konsesional dari dana filantropi dan investasi publik dengan modal dari sektor swasta, termasuk dari multilateral bank dunia.

Riki menambahkan, “Seharusnya, hibah sekitar USD 155 juta ditambah USD 157 juta dalam bentuk bantuan teknis dialokasikan untuk program edukasi mengenai penerapan safeguard ESG secara komprehensif bagi seluruh pemangku kepentingan dalam proyek-proyek Energi Terbarukan di Indonesia.”
Indonesia memiliki potensi sumberdaya energi terbarukan yang melimpah di dunia. “Seluruh pemangku kepentingan, termasuk pemerintah dan DPRD di daerah, masih sangat perlu memahami pentingnya penerapan Safeguard ESG secara komprehensif,” ungkap Riki.

Hal ini diperlukan agar dapat disusun kebijakan dan regulasi yang mendukung implementasi Safeguard ESG dalam proyek-proyek Energi Terbarukan, dari Sabang di ujung barat Indonesia hingga Merauke di Kabupaten Merauke, Provinsi Papua Selatan.

Menurut Riki, “JETP Indonesia sebaiknya dibubarkan saja. Namun, seluruh pendanaan dari para sponsor yang telah berkomitmen sebaiknya dialihkan kepada masing-masing bank multilateral di dunia. Dana tersebut dapat dimanfaatkan sebagai insentif pembiayaan teknologi bagi negara-negara sponsor anggota JETP, serta untuk mendanai program edukasi mengenai penerapan prinsip ESG secara komprehensif kepada seluruh pemangku kepentingan, termasuk masyarakat di sekitar proyek Energi Terbarukan di Indonesia.”
Selanjutnya Riki menegaskan “Biaya untuk mematikan lebih awal PLTU hingga tahun 2035—padahal kontraknya baru berakhir 2042—mencapai USD 250 hingga 300 juta atau setara Rp 3,9 hingga 4,7 triliun dan justru membebani generasi mendatang, sementara manfaat pengurangan emisinya hanya sekitar 30 juta ton”.
“Indonesia memiliki PT SMI (Persero) dan PT PII (Persero) yang berpengalaman mendampingi Multilateral Bank Dunia. Alokasi realisasi pendanaan kepada kedua BUMN, SMV Kementerian Keuangan akan banyak manfaatnya daripada membentuk JETP Indonesia”, pungkas Riki

Cek juga

Direktur Pusat Studi Kebijakan Publik (PUSKEPI) Sofyano Zakaria : Terkait Kasus Import BBM, Jangan Tinggalkan Pertamina!

JAKARTA – Pengamat Energy sekaligusDirektur Pusat Studi Kebijakan Publik (PUSKEPI) Sofyano Zakaria mendukung apa yang …