JAKARTA – Masalah kelangkaan BBM bersubsidi (pertalite dan solar) menjelang akhir tahun di berbagai daerah sudah rutin terjadi, termasuk tahun ini. Salah satu faktor penyebab adalah berkurangnya atau sengaja dikuranginya pasokan BBM ke SPBU-SPBU guna mencegah over kuota BBM. Faktor lain, bisa saja karena pembatasan distribusi, penyelewengan penggunaan BBM bersubsidi, penyelundupan, dll.
Selama ini kelangkaan BBM akibat permasalahan seputar kuota BBM/energi selalu membawa masalah dan penderitaan bagi rakyat berupa antrian panjang, beban biaya energi lebih mahal, kegiatan usaha terganggu, pemborosan tenaga, biaya, dan waktu. Bagi sebagian rakyat, dampak negatif moril dan materiil pengurangan kuota energi/BBM adalah kenyataan yang harus diterima.
Jika masalah kuota BBM/energi ini terjadi sekali atau dua kali, mungkin bisa dimaklumi. Namun jika terus berulang setiap tahun, maka kita harus mencari penyebab dan peanggungjawabnya. Penanggungjawab utama masalah secara umum sudah pasti pemerintah. Di samping Presiden sebagai kepala pemerintahan, pimpinan kementrian/lembaga yang dituntut bertanggungjawab adalah Kementrian ESDM, Kementrian Keuangan, BPH Migas, dll.
Sama seperti menetapkan APBN, indikator/variable ekonomi atau subsidi energi, maka kuota BBM/energi memang perlu dibahas dan disepakati bersama oleh pemerintah dan DPR setiap tahun. Realisasi APBN, variable ekonomi atau nilai subsidi energi pada dasarnya dapat atau sering berbeda nilainya pada saat penganggaran atau penetapan UU APBN. Hal ini sangat difahami dan dapat dimaklumi.
Guna mengatasi perbedaan nilai anggaran dengan nilai realisasi/proyeksi (belanja) biasanya dikenal mekanisme perubahan anggaran atau APBN Perubahan (APBN-P). Mekanisme ini pun berlangsung secara otomatis oleh pemerintah bersama DPR. Di samping untuk menjamin efisiensi dan efektivitas belanja negara, APBN-P ditetapkan guna menyesuaikan berbagai perubahan (global dan domestik) yang terjadi sepanjang tahun, sehingga kehidupan masyarakat, termasuk terkait aspek ekonomi, keuangan, sosial, dll., dapat berlangsung mulus tanpa gejolak.
Karena kuota energi/BBM termasuk dalam variable APBN/APBN-P yang ditetapkan pemerintah dan DPR secara rutin, maka setiap perubahan lingkungan domestik/global yang menyebabkan masalah kuota, mestinya tidak perlu menimbulkan gejolak kehidupan yang merugikan masyarakat. Jika masalah dan kerugian sampai timbul, maka pemerintah, terutama Presiden dan kementiran/lembaga terkait pantas digugat rakyat, seperti diurai berikut.
Pertama, karena pemerintah/BPH Migas tidak akurat dalam penetapan kuota. Faktanya over kuota berlangsung setiap tahun. Jika perhitungan kuota setiap tahun salah, maka wajar jika pihak-pihak penentu utama nilai kuota tersebut bertanggungjawab. Minimal sistem mitigasi harus dipersiapkan.
Kedua, karena telah rutin terjadi, maka langkah-langkah antisipatif memitigasi, meminimalisasi atau menghilangkan dampak negatif kekurangan kuota tidak dipersiapkan pemerintah. Padahal sistem mitigasi ini harusnya bekerja secara otomatis. Pemerintah dan BUMN memiliki data dan keahlian, sehingga mampu menghitung proyeksi kebutuhan energi/BBM hingga akhir tahun. Jika gejolak dan kerugian akibat kekurangan kuota terus terjadi, terutama karena absennya sistem mitigasi, maka pemerintah dianggap telah bekerja tidak profesional dan tidak sesuai kepentingan rakyat.
Ketiga, langkah-langkah antisipatif bersifat teknis, operasi, administrasi dan hal-hal terkait lain di internal pemerintah guna menambah kuota secara otomatis tidak bekerja sesuai kepentingan untuk melayani rakyat. Minimnya koordinasi dan kuatnya faktor ego sektoral antar kementrian/lembaga dianggap salah satu penyebab lambannya keputusan penambahan kuota yang merugikan rakyat ini.
Keempat, adanya keinginan pemerintah/lembaga tertentu mempertahankan atau meminimalisasi tambahan nilai subsisdi energi/BBM di APBN. Dengan menambah kuota, berarti nilai subsidi energi/BBM bertambah. Jika kuota ditahan, nilai subsidi tidak naik. Tampaknya para pihak-pihak terkait dalam pemerintahan bersikap: jika distribusi BBM ke SPBU/daerah dikurangi, maka minimal akan diperoleh pengurangan nilai subsidi, tidak peduli jika rakyat menjadi korban ketidakbecusan ini. Mereka bersikap: jika keputusan penambahan kuota dapat ditahan atau ditunda, maka nilai tambahan subsidi energi/BBM di APBN akan berkurang. Sebagai kepala pemerintahan, Presiden Jokowi yang membawahi semua kementrian/lembaga terkait tersebut wajar digugat untuk bertanggungjawab.
Kelima, terjadi penyelewengan penggunaan BBM bersubsidi, terutama di sektor-sektor yang menurut aturan dilarang mengkonsumsi BBM bersubsidi, seperti pertambangan, perkebunan, dll. Hal ini terjadi terutama jika selisih harga BBM bersubsidi dan non-subsidi, akibat sistem harga BBM yang bermasalah, semakin besar. Di sisi lain, pengawasan oleh pemerintah sangat minim dan sanksi atas pelanggaran tidak diterapkan secara konsisten.
Keenam, sistem harga BBM yang telah ditetapkan dalam Perpres No.191/2014 tidak dijalankan secara konsisten. Karena politik pencitraan Presiden Jokowi, sistem harga yang dapat dianggap lebih adil dan berkelanjutan ini, telah dilanggar sendiri oleh pemerintah melalui sejumlah perpres Perubahan atas Perpres No.191/2014. Akibatnya, beban subsidi (sebagian diberi nama ”kompensasi”) energi/BBM di APBN meningkat, namun di sisi lain, peningkatan dalam kondisi APBN yang berdefisit besar ini, justru dinikmati oleh kalangan yang dianggap tidak layak menerima subsidi (sebenarnya, jika keuangan APBN mampu, bisa saja mayoritas rakyat memperoleh subsidi energi).
Ketujuh, penggunaan teknologi digital dan sistem IT, terutama guna mendukung sistem subsidi tepat sasaran belum terlaksana secara optimal. Dalam hal ini tampaknya kementrian/lembaga terkait dan BUMN yang terlibat belum mampu mendevelop aplikasi sistem tersebut sesuai kebutuhan secara objektif dan transparan, serta bebas moral hazard.
Mayoritas rakyat kelas menengah ke bawah dan miskin selama bertahun-tahun telah menjadi korban akibat kebijakan sistem harga dan kuota energi/BBM yang bermasalah. Hal ini bisa diatasi jika pemerintah pro-rakyat banyak, mengutamakan pelayanan publik, bekerja profesional, terkoordinasi di bawah presiden, bebas ego sektoral, bebas politik pencitraan, membuat peraturan yang adil dan berkelanjutan, serta konsisten dijalankan. Faktanya, pemerintah yang berkuasa saat ini gagal melakukannya. Akhir tahun ini, rakyat harus siap menjadi korban kebijakan kuota BBM bermasalah.(Marwan Batubara, IREES)