Fokusenergi.com,Jakarta – Sidang pidana dugaan penggelapan bahan bakar minyak (BBM) dengan 17 orang terdakwa dari karyawan PT Meratus Line dan PT Bahana Line kembali digelar di Pengadilan Negeri Surabaya, Selasa (17/1/2023). Dalam persidangan kali ini, para terdakwa membantah semua keterangan saksi. Hakim pun meminta pada para terdakwa agar menuangkannya dalam nota pembelaan nantinya.
Saksi pertama adalah Direktur Utama Meratus Line, Slamet Raharjo. Dalam kesempatan itu, Slamet menerangkan soal perkara yang menjerat beberapa karyawannya itu.
Dia mengatakan bahwa modus yang digunakan anak buahnya bekerjasama dengan anak buah Bahana Line. Otak dari pencurian BBM adalah karyawan outsourching Meratus Line bernama Edi Setyawan, yang juga dituding telah menerima sejumlah uang dari karyawan Bahana Line.
Menurut Slamet, Edi Setyawan (terdakwa) telah menerima Rp 500 juta per bulan dari karyawan Bahana Line. Transaksi ini diduga terjadi sejak tahun 2015 namun baru diketahui tahun 2022.
“Pengakuan Edi Setyawan mengatakan Rp 600 Juta tapi pada Januari mereka (para terdakwa) sudah terima Rp 500 Juta hingga 3 kali dan yang mengambil Edi Setyawan sendiri maka kita berani laporkan ke polisi,” ungkapnya.
Dalam menyampaikan keterangannya tersebut, Slamet beberapa kali terlihat emosinal. Bahkan dia sempat menyebut keterlibatan Bahana Line secara institusional dalam kasus dugaan penggelapan BBM ini.
Namun ketika ditanya oleh pengacara terdakwa, Gede Pasek Suardika (GPS), terkait pernyataannya soal status karyawan Edi (terdakwa), Slamet sempat tergagap menjawab. GPS mempertanyakan status Edi yang disebutkan sebagai sopir dan karyawan outsourching tetapi bisa memiliki kewenangan melebihi pegawai organik dan atasannya sendiri
Meski begitu, Slamet pun mengakui jika pihaknya merasa kecolongan. Dan menyebutnya sebagai miss dalam manajemennya. “Itu miss kami di manajemen, ” kilahnya.
Akibatnya, Ketua Majelis Hakim, Sutrisno, sempat beberapa kali menberikan peringatan kepada Slamet agar tidak melebarkan keterangannya ke ranah perdata.
“Ini kan urusan antar oknum karyawan dan proses antar perusahaan kan tidak ada masalah. Jadi fokus pada dakwaan jangan melebar. Jangan juga masuk ke ranah perdata,” tegasnya memperingatkan saksi Slamet.
Saat diminta tanggapannya atas keterangan saksi, terdakwa Edi membantah semua keterangan bosnya itu. Malahan, dengan tegas dia menyebutkan tidak ada satu pun keterangan dari bos nya itu yang benar. “Salah semua yang mulia,” ujar Edi.
Sementara terdakwa Erwinsyah, karyawan Meratus Line, menyatakan jika selama ini telah mengalami tekanan dari perusahaan untuk membuat surat pernyataan. Tekanan itu, dilakukan perusahaan dengan menghadirkan pihak lain seperti oknum polisi dan oknum TNI.
“Kami diminta untuk membuat surat pernyataan di bawah tekanan. Kenapa saya ngomong demikian, karena waktu kami disuruh membuat surat pernyataan, ada personel polisi dan TNI yang memperkenalkan diri secara jelas,” ungkapnya
Menanggapi beberapa bantahan terdakwa, Hakim Sutrisno pun meminta pada para terdakwa agar menuangkannya dalam nota pembelaan nantinya.
Hasil Audit Meragukan
Saksi lainnya yang dihadirkan adalah Auditor Internal Meratus Line, Feni. Dalam kesempatan itu, Feni menjelaskan bahwa berdasarkan audit internal, pihaknya menemukan kerugian atas kasus dugaan penggelapan BBM itu sebesar Rp 500 miliar terhitung sejak 2015. Dia juga mengaku, dasar audit yang dilakukan adalah dari keterangan atau pengakuan para terdakwa yang kemudian diasumsikan olehnya.
Lebih lanjut, Feni menyebutkan pihaknya juga melakukan audit untuk kedua kalinya dan ditambahkan lagi adanya audit eksternal. Uniknya, dia malah mengakui terdapat perbedaan atau selisih dari kedua hasil audit tersebut.
“Hasil audit internal kedua menemukan dugaan kerugian sebesar Rp 94 miliar dan hasil audit eksternal hanya menemukan kerugian sebesar Rp 93 sekian miliar,” papar Feni.
Namun, GPS menegaskan pihaknya meragukan hasil audit yang dilakukan Auditor Internal Meratus Line, yakni Feni. Apalagi, dalam ketiga audit tersebut ditemukan ketidak cocokan hasil kerugian yang dimaksud.
“Internal audit di awal menyebutkan Rp 500 miliar tetapi banyak berbasis asumsi, lalu ada audit lagi ditemukan Rp 94 miliar lebih tetapi perhitungan eksternal audit disebutkan Rp 93 miliar. Ada perbedaan yang jauh itu membuat hasil audit diragukan,” ungkap GPS.