Oleh: Sofyano Zakaria, Pengamat Kebijakan Energi
Terkait Kasus Bermasalah nya Mesin Sepeda Motor atau disebut media dengan istilah “Brebet” , bukan tidak mungkin akan lahir isu ke publik yang bisa saja digiring pada narasi yang menyudutkan Pertamina misalnya disuarakan dengan isu BBM impor bermasalah.
Terhadap isu yang ada yang mencuat sejak pertengahan 2025 sangat bisa ada yang berpendapat seolah -olah semua kesalahan teknis dan gangguan pasokan energi nasional bersumber dari ketidakmampuan Pertamina menjaga mutu produk. Padahal, bila kita menelusuri lebih dalam, kasus ini jauh lebih kompleks dan tidak sesederhana narasi yang beredar di ruang publik.
Sebagai pengamat kebijakan energi, saya melihat bahwa jika ada opini yang dibangun dengan menyebut adanya “sabotase sistematis terhadap kedaulatan energi nasional” perlu dikaji dengan hati-hati.
Opini yang Menggunakan istilah seperti “sabotase” dan atau “balas dendam” jaringan bisnis lama mungkin menarik secara politis, tetapi berisiko menyesatkan publik dari akar persoalan sebenarnya: lemahnya koordinasi tata kelola impor BBM nasional dan perlunya reformasi sistem pengawasan mutu lintas rantai pasok global.
Isu bbm bermasalah Adalah Persoalan Teknis, Bukan Politik
Pertama-tama, perlu diluruskan dan diketahui , Dalam distribusi produk apapun juga , jika ada kasus “tak memenuhi spek” misalnya , itu bukanlah hal baru dan tidak hanya terjadi di Indonesia.
Dalam industri migas global, variasi mutu produk impor bisa muncul karena perbedaan standar nasional, kondisi penyimpanan di kapal, hingga faktor cuaca selama pelayaran.
Fakta bahwa beberapa parameter seperti oxidation stability, dan benzene content melenceng sedikit dari spesifikasi bukan berarti ada sabotase, tetapi menunjukkan perlunya sistem “quality assurance”yang lebih adaptif terhadap kondisi rantai pasok internasional.
Badan usaha energi apapun tentu telah melakukan berbagai langkah korektif terhadap produknya seperti re blending misalnya yang secara internasional diakui sebagai standard “operational practice”ketika terjadi deviasi mutu minor. Artinya, langkah koreksi tersebut justru membuktikan profesionalitas, bukan kelemahan.
Jangan Jadikan Badan Usaha Migas Kambing Hitam atau Tameng Kepentingan
Saya justru melihat jika ada narasi bahwa “Pertamina diserang oleh pihak-pihak yang kehilangan akses” dapat berpotensi menjadi tameng baru bagi inefisiensi lama. Menyederhanakan semua persoalan teknis menjadi konspirasi atau sabotase justru berbahaya, karena mengalihkan fokus dari transparansi sistem yang harus diperkuat.
Jika benar ada pihak yang diduga melakukan sabotase, tentu menjadi ranah penegak hukum. Namun jangan sampai tudingan ini menjadi alat untuk membenarkan lemahnya sistem pengawasan mutu atau menutupi potensi kesalahan prosedural di sisi operasional impor dan logistik.
BUMN sebesar Pertamina harus berdiri di atas prinsip profesional, terbuka, dan akuntabel — bukan berlindung di balik narasi ancaman eksternal setiap kali muncul masalah mutu produk.
Reformasi Tata Kelola Impor BBM Harus Nyata, Bukan Seremonial
Kita perlu objektif. Setelah “kasus hukum di sektor migas” awal 2025, Pertamina memang melakukan “cleansing”daftar vendor impor. Itu langkah baik. Namun, setiap pembersihan sistem pasti membawa konsekuensi operasional. Ketika vendor lama diblokir dan jaringan baru belum sepenuhnya mapan, muncul celah koordinasi , inilah yang bisa jadi sebagai penyebab potensial meningkatnya hal seperti bbm cargo bermasalah dan lain lain.
Masalahnya bukan sabotase, melainkan lebih kepada “transisi risk” dari proses pembenahan tata kelola.
Solusinya tentu bukan hanya dengan membangun narasi pertarungan kelompok bisnis lama dan baru, tetapi dengan antara lain memperkuat mekanisme “inspeksi awal pengapalan” , audit mutu bersama antara buyer dan seller, serta transparansi hasil uji laboratorium yang bisa diawasi publik.
Kalau langkah-langkah ini dilakukan, ini bisa menghilangkan adanya berbagai macam dugaan dan tudingan karena semua data akan berbicara secara objektif.
Pertamina Harus Buka Data dan Bangun Kepercayaan Publik
Keterbukaan adalah kunci menjaga kredibilitas. Pertamina perlu lberani membuka data kualitas BBM impor nya , asal negara, vendor, hingga langkah koreksinya. Dengan begitu, publik akan menilai bahwa BUMN ini tidak menutupi sesuatu.
Justru dengan transparansi, kepercayaan nasional dan internasional akan tumbuh. Jangan biarkan opini publik dikuasai narasi emosional yang tidak berbasis data.
Kedaulatan Energi Tidak Bisa Dijaga dengan Narasi Ketakutan
Kedaulatan energi nasional bukan berarti menolak kritik terhadap BUMN energi. Justru, kedaulatan dibangun dari sistem yang transparan, efisien, dan profesional.
Mengaitkan setiap problem teknis dengan dugaan sabotase justru melemahkan posisi Indonesia di mata mitra dagang internasional. Kita harus berani menghadapi fakta teknis dengan sains dan sistem, bukan dengan tuduhan dan sentimen politik.
Penutup
Kasus apapun yang terjadi pada BUMN milik bangsa Pertamina ,semestinya menjadi momentum introspeksi nasional dalam membenahi sistem impor energi, bukan ajang saling tuding atau pengalihan isu. Pertamina adalah aset bangsa, dan publik berhak mendapat penjelasan yang berbasis data, bukan drama.
Saya yakin para pekerja energi di Pertamina tetap profesional dan berdedikasi. Namun ke depan, yang dibutuhkan bukan lagi narasi heroik tentang “serangan terhadap BUMN”, melainkan komitmen pada transparansi, pengawasan mutu yang kuat, dan keberanian membuka data apa adanya.
Hanya dengan cara itu, reputasi Pertamina dan kedaulatan energi nasional akan berdiri di atas fondasi yang kokoh — bukan di atas narasi yang dikonstruksi.(Sofyano Zakaria, Pengamat Kebijakan Energi)
FOKUS ENERGI Berita Energi Terkini