JAKARTA – Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) merupakan RUU inisiatif DPR. Sesuai Keputusan DPR Nomor 8/DPR RI/II/2021-2022, RUU ini termasuk RUU prioritas, seperti tercantum Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2022 melalui Keputusan DPR RI Nomor 8/DPR RI/II/2021-2022. Artinya, RUU ini telah berumur lebih dari 1 tahun, untuk akhirnya mungkin dapat diundangkan oleh DPR periode 2019-2024.
Sesuai namanya, RUU EBET dimaksudkan memuat berbagai ketentuan tentang energi baru dan energi baru terbarukan. Energi baru bisa berarti energi “bentuk baru” yang dihasilkan dari sumber-sumber energi “lama”, seperti gas hasil gasifikasi batubara. Energi terbarukan adalah energi yang berasal dari proses alam yang berkelanjutan, seperti tenaga surya, tenaga angin, arus air, proses biologi, dan panas bumi. Dalam hal ini, dibanding energi baru, IRESS cenderung mendukung agar UU ini lebih fokus memuat norma terkait energi terbarukan.
Kita memang sudah mempunyai UU tentang energi atau panas bumi. Namun kedua UU ini mungkin belum memadai mengakomodasi berbagai hal guna memenuhi kebutuhan energi bersih, terutama energi listrik ke depan. Apalagi dengan target emisi karbon nol pada 2060. Karena itu, kita berharap DPR dan pemerintah akhirnya bisa segera menghasilkan UU EBET yang sesuai konstitusi, kepentingan stake holders energi/listrik dan pemenuhan kebutuhan energi bersih berkelanjutan ke depan.
Sesuai nama, UU EBET harus memuat ketentuan/norma energi, energi baru, energi terbarukan dan aspek-aspek yang terkait. Sehingga terbangun dan tersedia energi guna memenuhi demand secara efektif, efisien, andal, berkelanjutan, emisi karbon minimal, transisi energi berlangsung mulus, dan ketahanan energi nasional pun tercapai.
Tahun 2023 yang lalu konsumsi listrik nasional adalah 285 TWh. PLN memproyeksikan konsumsi tersebut naik menjadi 468 TWh pada 2033. Dalam rencana usaha penyediaan tenaga listrik (RUPTL) PLN periode 2024 – 2033, PLN menargetkan 75% pembangkit listrik adalah berbasis EBT, dan sisanya 25% gas. Untuk itu dibutuhkan dana investasi sekitar US$ 150 miliar. Dengan kondisi demikian, dipahami bahwa upaya optimal perlu dilakukan Indonesia agar target tersebut dapat dicapai, termasuk menyelesaikan RUU EBET.
Terlepas apakah relevan dengan kepentingan negara, BUMN dan rakyat, salah satu norma penting yang akan diatur dalam EBET adalah tentang skema power wheeling. Itu pula sebabnya mengapa power wheeling menjadi “kata kunci” dalam judul acara webinar ini. Minimal agar norma hukum skema tersebut dapat ditetapkan tanpa merugikan negara/BUMN dan rakyat.
Komisi VII DPR bersama Kementerian ESDM telah menuntaskan pembahasan 574 daftar inventarisasi masalah (DIM) di dalam RUU EBET. Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Eddy Soeparno mengatakan RUU EBET akan mengakomodir skema power wheeling dalam RUU EBET dan diharapkan tuntas tahun 2024 ini (8/5/2024).
Sedangkan Kementerian ESDM mengatakan mengatakan pemerintah tidak pernah ragu dan mendorong masuknya skema power wheeling dalam RUU EBET (8/5/2024).
Power wheeling merupakan mekanisme transfer energi listrik dari pembangkit swasta ke fasilitas operasi milik negara/PLN dengan memanfaatkan jaringan transmisi/distribusi PLN. Menurut Menteri ESDM Arifin Tasrif, skema power wheeling dapat dijalankan selama ada pihak yang mau membangun mekanisme tersebut dan memiliki pasar tersendiri, sepanjang tidak mengganggu sistem yang sudah ada. Kata Arifin: “Misalnya, dia mau bangun dan ada demand sendiri, mau bangun pembangkit kan bisa,” 22/3/2024).
Skema power wheeling mungkin dapat memberi manfaat bagi kelistrikan Indonesia, terutama guna memenuhi demand listrik yang tinggi di satu sisi dan kebutuhan investasi di sisi lain. Investor memang perlu diberi insentif. Namun tidak berarti kebutuhan investasi ini, dan cara memeperolehnya dilakukan at any costs. Jika skema power wheeling adalah salah satu cara meraih minat investor, maka tetap saja ketentuan/norma yang mengatur penerapannya harus tunduk pada prinsip-prinsip moral, berkeadilan bagi seluruh rakyat, bebas moral hazard, sesuai prinsip GCG, bebas bebas praktik pendekatan kekuasaan otoriter, bebas kepentingan oligarkis, serta tunduk kepada amanat konstitusi dan perintah UU.
Kita sangat concerned dengan pendekatan-pendekatan anti demokrasi, anti keadilan, melanggar azas-azas moral, dan anti konstitusi/UU berlaku, baik dalam proses pembentukan (formil) maupan dalam menetapkan norma RUU EBET (materil). Belajar dari praktik telah berlangsung selama ini, pendekatan kekuasaan oligarkis dan diduga sarat KKN telah banyak terjadi pelanggaran prinsip-prinsip berbangsa dan bernegara tersebut.
Salah satu pelanggaran sangat prinsip adalah diabaikannya hak prinsip natural monopoly BUMN/PLN yang diamanatkan dan dijamin Pasal 33 UUD 1945. Sektor strategis dan menyangkut hidup orang banyak, dikuasai negara/BUMN untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Selain itu, pelanggaran juga terbukti dari Putusan MK atas dua kali judicial review UU Kelistrikan (No.20/2002 dan No.30/2009 dangan Putusan MK No.1/2003 dan No.111/2015), yang dikabulkan oleh MK, namun tidak digubris atau malah diabaikan oleh pemerintah.
Dampak dari pelanggaran-pelanggaran tersebut antara lain tidak optimalnya ketahanan energi nasional, tingginya tarif listrik bagi rakyat dan industri, besarnya beban operasi BUMN dan tingginya beban subsidi dan kompensasi listrik di APBN. Hal ini terjadi antara lain karena pelanggaran-pelanggran UU/peraturan terkait penyediaan listrik oleh Independent Power Producer (IPP), penyusunan dan penerapan RUPTL, skema power wheeling (sesuai PP No.14/2012 dan skema take or pay (TOP), dll.
Seperti disebut di atas, pelanggaran terhadap konstitusi dan UU berlaku dalam industri listrik nasional sudah umum terjadi. Ketentuan power wheeling dalam PP No.14/2012 telah melanggar Pasal 33 UUD, serta menyabot hak monopoli dan menggerogoti bisnis BUMN. PP ini bisa saja tetap berlaku. Memperhatikan rencana pemerintah dan DPR yang demikian antusias mendorong penerapannya dalam RUU EBET, tampaknya status ketentuan skema power wheeling akan meningkat menjadi ketentuan UU.
Kebijakan IPP, TOP dan power wheeling versi PP No.14/2012 masih menyisakan nestapa dan kerugian bagi negara/BUMN, konsumen listrik dan APBN hingga saat ini dan masa depan. Kerugian tersebut berpotensi akan bertambah jika norma tentang power wheeling diatur sesuai kepentingan oligarki kekuasaan dan perburuan rente.
Karena itu, Pemerintah dan DPR harus menjamin prinsip-prinsip bernegara menjadi pegangan utama pembahasan RUU EBET. DPR dan pemerintah harus menjamin azas-azas keterbukaan, demokrasi dan partisipasi publik, serta berjalannya proses pembentukan (formil) UU EBT dan penetapan ketentuan (material) sesuai konstitusi dan UU PPP (UU No.12/2011 atau UU No.15/2019). Dalam hal ini publik/rakyat diminta untuk ikut berperan aktif.
Pemerintah pernah mencoba memberi “peluang bisnis” kepada pengusaha pada tahun 2021 melalui rencana penerbitan peraturan tantang PLTS Atap. Diyakini peraturan tersebut sarat moral hazard, tidak adil, serta akan merugikan BUMN dan sebagian besar konsumen listrik. Namun karena advokasi perlawanan publik dan berbagai pihak, upaya tersebut akhirnya dibatalkan. Memperhatikan profil kekuasaan oligarki saat ini, tampaknya peran partisipasi publik dalam pembentukan UU EBET ini sangat dibutuhkan.
Kita memahami pentingnya memenuhi target-target pemenuhan demand energi, investasi, net zero emission, ketahanan energi dan Pembangunan nasional. Namun, berbagai target ideal tersebut harus dicapai dengan tetap memperhatikan aspek-aspek konstitusional, legal, keadilan, kebersamaan, keberlanjutan pelayanan publik dan berbagai kepentingan strategis nasional. Maka, IRESS menuntut agar pembentukan UU EBET harus tetap berpegang pada prinsip-prisnsip bernegara dan kepentingan nasional tersebut.