Wednesday , December 31 2025

Sofyano Zakaria : Persoalan Elpiji 3 kg Bukan Sekedar Soal NIK , Butuh Keberanian Politik

JAKARTA — Rencana pemerintah menerapkan penyaluran elpiji 3 kilogram bersubsidi berbasis Nomor Induk Kependudukan (NIK) kembali menuai sorotan. Direktur Pusat Kebijakan Publik (PUSKEPI), Sofyano Zakaria, menilai kebijakan tersebut belum menyentuh persoalan mendasar dalam tata kelola subsidi energi, khususnya soal ketepatan sasaran.

Menurut Sofyano, pemerintah memang mengklaim sistem berbasis NIK sebagai solusi untuk memperbaiki penyaluran subsidi agar lebih terkontrol. Namun, di balik narasi tersebut, muncul pertanyaan krusial: apakah pencatatan berbasis identitas benar-benar mampu menjawab masalah siapa yang berhak menerima elpiji 3 kg?

“Jika kita jujur melihat praktik di lapangan, sebagian besar pangkalan elpiji 3 kg sebenarnya sudah lama menerapkan pencatatan berbasis identitas,” ujar Sofyano.

Ia menjelaskan, warga yang membeli elpiji 3 kg di pangkalan umumnya telah diminta menyerahkan fotokopi KTP. Data tersebut kemudian dicatat dan dilaporkan secara berkala kepada agen maupun Pertamina. Dengan mekanisme tersebut, penyaluran elpiji bersubsidi sejatinya tidak sepenuhnya bebas tanpa pengawasan.

Kondisi ini memunculkan keraguan terhadap urgensi sistem baru berbasis NIK. Jika perbedaannya hanya pada digitalisasi alat pencatatan tanpa perubahan kriteria penerima, Sofyano menilai kebijakan tersebut lebih tepat disebut pembaruan administrasi, bukan reformasi subsidi.

NIK Dinilai Tak Mewakili Kondisi Ekonomi

Sofyano menekankan, persoalan utama subsidi elpiji 3 kg bukan terletak pada sistem pencatatan, melainkan pada definisi penerima manfaat. Dalam konteks ini, penggunaan NIK dinilai bermasalah karena tidak mencerminkan kondisi sosial ekonomi seseorang.

“NIK adalah identitas kependudukan, bukan indikator kemampuan ekonomi,” kata Sofyano.

Ia mengingatkan, seseorang dengan NIK bisa saja tergolong masyarakat miskin, namun bisa pula berasal dari kelompok mampu dengan aset dan penghasilan tinggi. NIK tidak menggambarkan tingkat pendapatan, kepemilikan aset, maupun kemampuan finansial rumah tangga. Oleh karena itu, menjadikan NIK sebagai basis utama penyaluran subsidi berisiko menciptakan ilusi ketepatan sasaran.

Menurut Sofyano, kebijakan tersebut seolah memberi kesan bahwa selama data tercatat rapi dan berbasis NIK, subsidi sudah tepat sasaran. Padahal, substansi subsidi justru terletak pada keberpihakan kepada kelompok tidak mampu.

Definisi Penerima Elpiji 3 Kg Dinilai Masih Kabur

Sofyano juga menyoroti belum adanya definisi tegas mengenai siapa yang berhak menerima elpiji 3 kg bersubsidi. Apakah semua pemilik KTP, semua rumah tangga, atau hanya kelompok tertentu.

Selama kriteria tersebut tidak dijelaskan secara jelas, sistem berbasis NIK hanya akan memindahkan persoalan dari lapangan ke layar komputer. Subsidi berpotensi tetap dinikmati kelompok yang tidak berhak, sementara masyarakat kecil harus bersaing mendapatkan elpiji bersubsidi.

Ia memperingatkan, tanpa indikator sosial ekonomi yang tegas, kebijakan ini justru bisa melahirkan ketidakadilan baru. Warga miskin bisa dibatasi kuota, sementara kelompok mampu tetap mengakses elpiji 3 kg karena memiliki NIK yang sah.

Listrik Subsidi 900 VA Dinilai Lebih Relevan

Sebagai alternatif, Sofyano menilai pemerintah sebenarnya memiliki indikator yang lebih masuk akal dan mudah diterapkan, yakni daya listrik rumah tangga. Rumah tangga dengan daya listrik subsidi maksimal 900 VA secara umum merepresentasikan kelompok ekonomi menengah ke bawah.

Penggunaan indikator listrik subsidi memiliki sejumlah keunggulan. Pertama, data pelanggan listrik sudah tersedia dan terverifikasi. Kedua, daya listrik lebih mencerminkan kemampuan ekonomi dibandingkan NIK. Ketiga, pendekatan ini relatif lebih adil karena menyasar rumah tangga yang memang sudah menerima subsidi negara di sektor lain.

“Pertanyaannya, mengapa indikator ini tidak digunakan?” kata Sofyano.

Harga Tebus Agen Jadi Sorotan

Selain soal penyaluran, Sofyano juga menyoroti persoalan harga tebus elpiji 3 kg dari agen ke Pertamina yang nyaris tidak berubah selama belasan tahun, berada di kisaran Rp11.585 per tabung. Padahal, pemerintah daerah menetapkan Harga Eceran Tertinggi (HET) yang rata-rata sudah naik hingga sekitar Rp21.000 per tabung.

Ia menilai ketimpangan ini membuat rantai distribusi tidak sehat dan justru menambah beban masyarakat. Menurutnya, penyesuaian harga tebus agen yang lebih proporsional dengan HET daerah dapat mempersempit ruang permainan harga sekaligus mengurangi beban subsidi secara bertahap.

“Koreksi subsidi bukan berarti menghapus peran negara, tetapi membuat skemanya lebih rasional dan berkelanjutan,” ujarnya.

Risiko Sosial dan Tantangan di Akar Rumput

Sofyano juga mengingatkan potensi risiko sosial dari penerapan sistem berbasis NIK. Pangkalan bisa berada pada posisi sulit ketika harus menolak warga karena kuota habis, meski secara administratif terdaftar. Kondisi ini berpotensi memicu konflik di tingkat lokal.

Di sisi lain, masyarakat kecil yang kurang melek teknologi berisiko semakin terpinggirkan. Sistem yang diklaim modern justru dapat menciptakan hambatan baru bagi kelompok yang paling membutuhkan.

Perlu Keberanian Politik

Di akhir pernyataannya, Sofyano menegaskan persoalan elpiji 3 kg tidak semata soal NIK atau digitalisasi. Yang dibutuhkan adalah keberanian politik untuk mendefinisikan ulang subsidi secara jujur dan adil.

“Subsidi tepat sasaran bukan soal seberapa canggih sistemnya, tetapi seberapa berani negara mengakui realitas di lapangan dan memperbaikinya,” pungkasnya.

Cek juga

“Dugaan Pertalite Bermasalah : Antara Fakta Teknis dan Permainan Isu Politik”

Oleh : Salamudin DaengDirektur Asosiasi Ekonom Politik Indonesa (AEPI) Beberapa waktu terakhir, publik kembali digemparkan …