Friday , November 22 2024

“Is Hydrogen The Future?”: Prospek dan Tantangan Penggunaan Hidrogen Sebagai Bahan Bakar Masa Depan.

Oleh : Iwan Niswanto, Analis Kebijakan, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian

Penerapan energi bersih saat ini sudah menjadi tren global. Penggunaan energi fosil mulai bergeser dan ditinggalkan khususnya di negara-negara maju seperti di Eropa dan Skandinavia. Negara berkembang seperti di Asia termasuk Indonesia juga akan segera menerapkan energi yang lebih bersih yang sering juga disebut dengan transisi energi sebagai pijakan target Net Zero Emission pada tahun 2060. Bukan hanya pemerintah, berbagai perusahan minyak dan gas bumi ternama sudah menggaungkan energi terbarukan sebagai fokus bisnis masa depannya. Shell misalnya, mereka telah mengeluarkan The Energy Security Scenario yang menyiapkan 2 skenario masa depan yang disebut Archipelagos and Sky 2050. Pada pendahuluan skenario tersebut, Shell langsung menulis “Is hydrogen the future?”.

Menurut Indonesia Fuel Cell and Hydrogen Energy (IFHE) dan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dalam Indonesia Hidrogen Roadmap yang diterbitkan Tahun 2023, Kementerian ESDM mendorong hidrogen menjadi salah satu pembawa energi yang bersih dan serbaguna dalam mendorong percepatan transisi energi di Indonesia.
Beberapa keuntungan hidrogen sebagai sumber energi sekunder atau pembawa energi (energy carrier) diantaranya: 1) Bersih dan ramah lingkungan, 2) Pembawa energi serbaguna artinya dapat digunakan dalam aplikasi dan sektor misalnya bahan bakar untuk transportasi, pemanasan dan pembangkitan listrik atau bahkan menjadi bahan baku proses industri, 3) Densitas energi yang tinggi dalam hal ini hidrogen sebagai pembawa energi yang ringan dan efisien, 4) Penyimpan energi, 5) Skalibiltas dan potensi terbarukan, 6) Kompatibilitas infrastruktur. Hidrogen dapat diangkut dan didistribusikan melalui pipa gas alam yang sudah ada, dengan beberapa modifikasi, memungkinkan integrasi yang lebih mudah ke dalam infrastruktur energi yang sudah ada.

Potensi produksi hidrogen di Indonesia sangat besar, Indonesia memiliki sumber daya alam yang melimpah, seperti sinar matahari, angin, air, biomassa, dan geothermal, yang dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan hidrogen hijau. Green Hydrogen merupakan hidrogen yang dihasilkan dari energi terbarukan. Selain Green Hydrogen ada juga Grey dan Blue Hydrogen perbedaan warna ini mengikuti bahan bakunya misalnya Grey Hydrogen merupakan hidrogen yang berasal dari Natural Gas, Blue Hydrogen sama seperti Grey Hydrogen tetapi terdapat teknologi lanjutan untuk menyimpan kandungan CO2 di bawah tanah.

Indonesia merupakan negara kedua terbesar yang menggunakan geothermal secara tidak langsung sebagai pembangkit listrik, tetapi Indonesia belum mengoptimalkan geothermal sebagai direct use sebagaimana negara lain maju yang lain seperti Republik Rakyat Tiongkok, Amerika Serikat, Swedia dan Jerman.

Penggunaan direct use ini dapat dimulai dengan proyek hidrogen hijau, salah satunya yang sedang dirintis oleh PT Pertamina Geothermal Energy (PGE) sesuai dengan Key Strategics dari PGE yaitu adanya transisi bisnis dengan melakukan Pilot Project Green Hydrogen di Ulubelu dan Lahendong.

Sama seperti perusahaan migas dunia seperti Shell, Repsol, Chevron yang mempunyai rencana bisnis energi terbarukan, PGE juga dapat memanfaatkan potensi 80% rantai pasok geothermal Indonesia untuk dapat dikembangkan menjadi energi terbarukan salah satunya green hydrogen. PGE sebagai salah satu bagian dari subholding Pertamina Power and Renewable Energy juga dapat berkolaborasi dengan subholding lainnya dalam bisnis hidrogen baik upstream sampai midstream. Salah satu pilot project integrasi internal Pertamina diantaranya adalah PLTP Ulubelu Unit 3 & 4 dengan Kilang RU III Plaju yang menghasilkan polypropylene yang dimulai tahun 2023 dan diharapkan selesai di tahun 2025.

Selain untuk sektor industri, hidrogen juga dapat dikembangkan sebagai bahan bakar kendaraan, yang ditandai dengan adanya peresmian Hydrogen Fiiling Station untuk sektor transportasi yang dimiliki oleh PLN yang berasal dari Green Hydrogen dari PLTP Kamojang pada tanggal 21 Februari 2024. Pemerintah merencanakan pada 2030 hidrogen mulai dimanfaatkan untuk sektor transportasi yaitu untuk angkutan jarak jauh seperti truk, angkutan berat dan pelayaran serta pemanfaatan hidrogen dipertimbangkan sebagai diversifikasi opsi teknologi lainnya seperti electric vehicle.

Kementerian ESDM dalam Buku Strategi Hidrogen Nasional yang diterbitkan tahun 2023, hidrogen dapat dikembangkan dengan mempertimbangkan faktor keekonomian sebagai alternatif energi yang kompetitif. Faktor keekonomian tidak akan lepas dari harga jual hidrogen yang akan dibandingkan dengan harga BBM fosil.

Mengutip pernyataan Direktur PLN dalam peresmian Hydrogen Fiiling Station yang menyampaikan perbandingan harga penggunaan hidrogen dibandingkan dengan BBM atau listrik. Biaya per km dengan BBM akan dikenakan adalah Rp1.300. Apabila menggunakan EV home charging biayanya sekitar Rp350-400, sementara ultra fast charging sebesar Rp 550. Di sisi lain, biaya hydrogen per km hanya akan dikenakan Rp 276. Harga ini diasumsikan sudah memperhatikan biaya pembangunan infrastruktur dari hulu sampai hilir, termasuk margin operator dan faktor biaya lainnya.

Secara harga eceran mungkin dirasa murah bila dibandingkan harga bbm, namun harga dari kendaraan hidrogen yang masih mahal dan terbatas, artinya baru beberapa perusahaan otomotif Jepang, Korea, serta beberapa negara lain yang menyediakannya seperti Honda Clarity, Toyota Mirai, dan Hyundai Nexo dipastikan harga unit kendaraan ini jauh lebih mahal mulai dari Rp 800 Juta sd Rp 1 Miliar dari harga kendaraan dengan bahan bakar minyak maupun dengan electric vehicle yang dibanderol dari harga Rp 200 juta s.d Rp 500 jutaan.

Penyediaan green hydrogen sepertinya bukan hal yang harus diberikan perhatian lebih, tetapi pemerintah harus lebih memperhatikan gap antara harga BBM yang disubsidi dengan harga keekonomiannya agar pilihan energi lain khususnya hidrogen dengan melakukan reformasi harga BBM subsidi dalam beberapa waktu kedepan.

Selain itu, pelaksanaan serta mekanisme pajak karbon dan perbaikan mekanisme ekonomi karbon/carbon trading agar segera diimplementasikan agar harga energi yang berasal dari energi terbarukan dapat bersaing dengan harga energi dari bahan bakar fosil. Selain sisi harga, dukungan fiskal juga sangat dibutuhkan diantaranya dengan mengeluarkan kebijakan diskon tarif dan pengurangan pajak khususnya untuk penyediaan kendaraan hidrogen.

“Is hydrogen the future?” secara teknis dapat segera dilaksanakan di negara-negara maju dikarenakan tidak adanya subsidi pada sektor energi khususnya untuk BBM, tetapi untuk implementasi di Indonesia yang masih memberikan subsidi BBM diperlukan waktu dan intervensi pemerintah khususnya dalam memberikan keringanan pajak dan insentif fiskal lain.

Direktur Aneka Energi Baru Terbarukan, Andriah Feby Misna dalam acara Indonesia International Hydrogen Summit 2024 pada 19-20 Juni 2024 mengungkapkan bahwa untuk pengembangan hidrogen, pemerintah sedang menyusun Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan terdapat standar yang mengatur insentif pajak, dan dasar regulasi perdagangan karbon. Apakah RUU ini dapat diterbitkan dalam waktu dekat? Atau bahkan menunggu concern pemerintahan selanjutnya?

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis, bukan cerminan sikap atau pendapat instansi.

Cek juga

COP29, PLN Dorong Kolaborasi Global Perkuat Energi Hijau di Indonesia

BAKU, Fokus Energi — PT PLN (Persero) turut berpartisipasi dalam Konferensi United Nations Framework Convention …