Jakarta – Tanpa harus membangun infrastruktur baru dengan mengeluarkan investasi besar, teknologi pencampuran biomassa dengan batubara dengan jumlah tertentu (co-firing) di 52 PLTU merupakan langkah tepat PLN dalam mendukung percepatan transisi energi. Dari sisi ketersedian bahan baku biomassa sangat melimpah ruah, sehingga tidak perlu cemas untuk keberlanjutan pasokannya. Dengan banyak melibatkan masyarakat dalam mata tantai pasokan biomassa, secara langsung telah menggerakan ekonomi kerakyatan yang efek-nya dapat mensejahtetakan ekonomi masyarakat desa.
Direktur Eksekutif CESS (Center for Energy Security Studies), Ali Ahmudi Achyak membeberkan saat ini dunia tengah menghadapi situasi sulit yang berkepanjangan dan berdampak global. Adanya perang di berbagai penjuru yang tak berkesudahan sangat berdampak besar pada berbagai sektor, termasuk pangan, energi dan lingkungan hidup. Selain itu, muncul dan terus berkembangnya isu pemanasan global (global warming) dan perubahan iklim (climate change) menjadikan dunia harus berbenah, termasuk pembenahan sektor energi. Salah satu upayanya adalah kampanye pencapaian Net Zero Emision (NZE) yang membuat gerakan transisi energi (energy transition) menjadi sebuah keniscayaan tak terbantahkan.
“Ketika setiap negara membuat program transisi energi dan setiap orang bicara hal serupa, maka muncul pertanyaan transisi energi macam apa yang harus dilakukan?. Jawabnya adalah transisi energi berkeadilan dan berkelanjutan dengan memperhatikan “trilema energi” yaitu ketersediaan (availability), keterjangkauan (affordability) dan keberlanjutan (sustainability). Maka pemanfaatan Energi Baru dan Terbarukan (EBT) baik sebagai pengganti (substitusi) maupun pelengkap (komplementer) dari energi fosil menjadi hal penting untuk diperhatikan,”ujar Ali Ahmudi Achyak kepada fokusenergi.com (12/10/2025).
Ali menambahkan, salah satu hal yang layak diperjuangkan adalah program co-firing biomassa di PLTU batubara. Data dari PLN menyebutkan bahwa tahun 2025 Total kapasitas terpasang mencapai 105 Giga Watt (GW).
Data dari RUPTL PLN sendiri menyebutkan bahwa pada tahun 2025 ini ada 60% produksi listrik PLN yang berasal dari PLTU. Artinya lebih dari separuh produksi listrik yang dipasok oleh PLN untuk seluruh masyarakat Indonesia berasal dari PLTU. Jika semua PLTU harus pensiun dini (passed out), maka bisa dibayangkan kondisi kelistrikan nasional pasti akan kacau dan ketahanan energi nasional akan goncang.
“Makanya tidak berlebihan rasanya jika menjadikan co-firing ini menjadi salah satu solusi bijaksana, adil dan berkelanjutan. Di satu sisi, industri batubara tetap akan hidup, industri biomassa juga terus berkembang, emisi terus bisa dikendalikan dan dikurangi secara bertahap dan lingkungan semakin membaik,”imbuhnya
Menurut Ali, Indonesia memiliki wilayah sangat luas dan mayoritas tanahnya subur dipenuhi hutan dan ekosistem sumber biomassa yang melimpah ruah. Aneka produk pertanian dan perkebunan bisa diproduksi dan limbahnya berpotensi menjadi bahan baku biopellet yang layak untuk dijadikan bahan bakar co-firing di PLTU batubara.
Berdasarkan penelitian Ali Ahmudi potensi limbah biomassa di Indonesia mencapai 236,4 juta ton/tahun. Jika dilakukan proses konversi menjadi biopellet akan menjadi 186,6 juta ton/tahun. Apabila itu dijadikan bahan bakar PLTU, maka potensi listrik yang dihasilkan menjadi 23,7 GW/tahun. Itu baru dari material limbah pertanian berupa padi, jagung, singkong, sawit, kelapa, tebu dan karet. Masih banyak limbah pertanian dan perkebunan lainnya.
“Apabila itu dikembangkan, maka akan berdampak besar bagi perekonomian lokal dan nasional. Industri batubara akan tetap hidup, industri pertanian dan perkebunan menemukan gairahnya kembali, serta masyarakat petani lebih produktif dan sejahtera,”tutup Ali Ahmudi Achyak
Dengan digalakannya pemanfaatan sampah untuk diolah menjadi Bahan Bakar Jumputan Padat (BBJP) Biomassa untuk co-fairing maka persoalan sampah di kota-kota besar dapat teratasi dan akan berdampak bagi lingkungan, meningkatkan perekonomian dan menyerap tenaga kerja lokal.
Maka tidak salah jika PLN mengusung co-firing untuk digunakan di 52 PLTU karena efek domino-nya sangat luar biasa. Dampaknya bagi PLN sendiri adalah mengurangi ketergantungan akan energi fosil, menghasilkan energi hijau untuk mendukung transisi energi dan pengurangan emisi karbon, membantu pemerintah mengatasi masalah sampah dan hal paling penting adalah ikut mendongkrak ekonomi masyarakat.