JAKARTA – Presiden Jokowi telah mengumandangkan komitmen negeri ini untuk mewujudkan Net Zero Emission Carbon (NZE) pada 2060. Komitmen ini menjadi genderang berfrekuensi tinggi yang menghasilkan peta jalan strategi energi bebas polusi karbon pada 2060.
Mempensiunkan pembangkit listrik bertenaga fosil (minyak dan batu bara) sebagai penyumbang dominan pelepasan karbon ke udara menjadi yang utama. Pembangkit tersebut akan diganti dengan dengan sumber energi baru dan terbarukan, salah satunya nuklir.
Pada 2049 harus ada pembangkit listrik bertenaga nuklir (PLTN) yang beroperasi sebesar 3,5 GW. Angka ini sejatinya tidak kecil dan untuk mewujudkannya tak bisa seperti pesulap dengan mantra sim salabim. Atau mengikuti cerita Roro Jonggrang yang dalam sekejap sudah berdiri dan beroperasi.
Melirik nuklir, berarti bersiap bersentuhan dengan pola pikir keamanan dan keselamatan yang tinggi; ada aturan dan yang mengatur. Siapkah Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten)?
Untuk membangun dan mengoperasikan PLTN sedikitnya butuh lima step perizinan. Izin lokasi, sertifikasi desain, konstruksi, komisioning, dan operasi. Semua tangga ini mengharuskan submisi sederet dokumen terkait data dukungnya secara ilmiah dan bisa dibuktikan.
Selain itu, membangun PLTN juga butuh waktu yang tidak singkat. Meski tipe terkini yang beken dengan nama Small Modular Reactor (SMR) bisa mempersingkat rentang konstruksi hingga menjadi tiga tahun –secara teori.
Jadi, mulai sekarang, menapaki tingkat persiapan pembangunan PLTN harus sudah dilakukan. Kerja sama dengan luar negeri yang sudah terdepan dalam membangun PLTN menjadi fokus yang tak terelakkan. Karena tidak mungkin membangun PLTN pertama cuma bersandar pada kemampuan sendiri. China saja yang tergolong terdepan di dunia nuklir mencatatkan diri bahwa kontribusi lokalnya hanya kurang dari satu persen.
Komunikasi dengan negara terdepan dalam pembangunan PLTN pertama bukan menunjukkan bahwa sumber daya manusia (SDM) kita tidak mampu. Tetapi lebih bersandar pada sisi keselamatan yang menjadi tanggung jawab dunia internasional.
Lalu, negara mana yang patut disandari? Tentunya negara yang mempunyai manufaktur teknologi PLTN, serta mau berinvestasi. Contohnya Bangladesh yang bekerja sama dengan Rusia dalam membangun 2160 MWe tipe Pressurized Water Reactor (PWR) dengan nama Rooppur.
Mengapa Rusia? Selain memberikan investasi, Rusia adalah negara terdepan terkait teknologi PLTN, di samping Amerika dan Prancis. Rusia saat ini masih mengoperasikan 37 PLTN, sedang membangun 4, dan memadamkan 10 PLTN. Hal ini sesuai catatan dokumen Power Reactor Information System (PRIS) International Atomic Energy Agency (IAEA) 2022.
Kerja sama dengan Rusia bukan hal baru untuk Indonesia. Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) telah bekerja sama dalam proyek pengembangan desain Reaktor Daya Eksperimental (RDE) 10 MW, 2015-2020. Rusia juga menyajikan teknologi PLTN terapung komersial pertama di dunia yang ditampilkan pada ATOMEXPO XII 21-22 November 2022 di Sochi. PLTN yang diberi nama Akademik Lomonosov terapung ini sangat cocok untuk pulau terisolasi di Indonesia.
Akademik Lomonosov terdiri dari dua SMR – KLT-40 yang dibangun di daerah bagian paling utara PEVEK, Rusia. PLTN ini menghasilkan listrik 77 MWe dan panas sebesar 146 Gkal/jam (300 MW). Hal ini bisa dipakai untuk memantik proses industri lainnya, seperti produksi gas Hidrogen yang sedang menjadi isu primadona energi hijau di negeri ini.
Dengan bobot 21.500 metrik ton, Akademik Lomonosov memiliki panjang 140 meter dan lebar 30 meter. Umur desainnya 40 tahun, dengan interval perawatan serta perbaikan 12 tahun. Jika Indonesia berminat mengaplikasikan Akademik Lomonosov untuk kawasan timur, tentu menjadi menjadi pekerjaan rumah bagi Bapeten untuk mengkajinya.
Sesungguhnya pengalaman mengelola pembangkit listrik terapung sudah dipunyai oleh PLN melalui Marine Vessel Power Plant (MVPP) – Turki, 240 MW di Medan, Sumatera Utara, 120 MW di Amurang, Sulawesi utara, 60 MW di Kupang, Nusa Tenggara Timur, dan 60 MW di Ambon.
PLTN terapung kedua terdiri dari empat unit terapung berdasarkan reaktor nuklir RITM 200S berkapasitas 106 MWe. Dimensi setiap unit, kurang lebih sama dengan yang dimiliki Akademik Lomonosov. Namun diklaim mempunyai turbin yang lebih bertenaga.
Reaktor yang juga dibangun oleh Rosatom hanya menghasilkan listrik, dan tidak disediakan area pengisian bahan bakar. Pengisian bahan bakar reaktor dilakukan di pangkalan Angkatan Laut Atomflot di Murmansk. Hal ini mirip dengan manajemen kapal nuklir pemecah es.
PLTN terapung kedua ini akan dibangun di lokasi zona bijih Baimskaya yang merupakan proyek penambangan dengan deposit tembaga dan emas terbesar di dunia. Tambang tersebut akan dieksplorasi selama 40 tahun ke depan.
Selain itu, Rosatom juga tengah mendesain SMR RITM-200N untuk diwujudkan pada 2028 di wilayah Yakutia, Rusia utara. PLTN ini kelak akan memasok listrik ke fasilitas penambangan emas di Kyuchus.
Di luar semua itu, Rosatom juga memproduksi PLTN mikro, Shelf-M, 10 MW. PLTN ini didesain mempunyai siklus pengisian bahan bakar yang panjang (8 tahun). Umur desainnya hingga 60 tahun. Mikro reaktor ini sepenuhnya dibuat secara pabrik dan dapat dipasang di tempat. Karena ukurannya tergolong kecil, reaktor ini bisa diangkut dengan truk. Desain teknis rinci rencananya akan selesai pada akhir 2024, dan fasilitas pertama akan beroperasi pada 2030.
Bagaimana dengan Indonesia? Kita sebetulnya sudah memulai kegiatan terkait mikro reaktor, RDE, dengan power hingga 10 MW, atau 3 MWe. Sayang, mikro reaktor ini terhenti di tengah proses lisensi desain karena pendanaannya dihentikan oleh pemerintah.
Terkait membangun PLTN, sesungguhnya Indonesia sudah memenuhi 16 infrastruktur dari 19 yang direkomendasikan oleh IAEA. Hal yang masih mengganjal adalah tantangan non teknis untuk pembangunannya. Jika menengok pengalaman negara lain seperti Bangladesh, sederet infrastruktur yang dipaparkan di atas akan dengan mudah terpenuhi seiring komitmen Presiden selaku pimpinan tertinggi.
Lalu di mana lokasi PLTN? Hingga saat ini Batan, yang sudah melebur ke BRIN, telah melakukan studi kelayakan di Semenanjung Muria, Jepara, Bangka, dan Pantai Gosong, Kalimantan Barat.
(Penulis : Dr. Geni Rina Sunaryo alumnus Universitas Tokyo)