Acara peluncuran Buku Putih berjudul “Analisis Bisnis dan Kebijakan untuk Mendorong Investasi Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) di Indonesia” di Auditorium Soeria Atmadja, Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Senin (5/2/2024).
DEPOK – Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) telah meluncurkan White Paper atau Buku Putih yang berjudul “Analisis Bisnis dan Kebijakan untuk Mendorong Investasi Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) di Indonesia”. Acara ini diselenggarakan di Auditorium Soeria Atmadja, Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Senin (5/2/2024).
Studi Analisis Bisnis dan Kebijakan untuk Mendorong Investasi Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) di Indonesia ini diselenggarakan oleh LPEM FEB UI bekerja sama dengan Sustainable Energy Systems and Policy Research (SESP), Fakultas Teknik Universitas Indonesia dan ahli hukum energi dengan dukungan penuh dari Asosiasi Panas Bumi Indonesia (API). Studi ini secara komprehensif menelaah berbagai aspek yang berperan penting dalam pengembangan bisnis panas bumi di Indonesia, khususnya dari segi teknis, regulasi, dan finansial.
Buku Putih ini diluncurkan untuk memberikan sejumlah rekomendasi kebijakan yang ditujukan untuk meningkatkan investasi PLTP untuk mempercepat laju peningkatan bauran energi panas bumi di Indonesia.
Dosen Sekolah Pascasarjana Universitas Darma Persada yang juga mantan dirut PT GeoDipa Energi (Persero), periode 2016-2022, Riki Ibrahim, menanggapi bahwa, “Saat ini sebaiknya tidak bersikeras untuk meminta harga listrik dengan IRR 14% (16 cent per kWh), namun berikan solusi yang konkrit agar geotermal atau Panas Bumi di Indonesia tidak kalah pengembangannya dengan ET lainnya seperti PLTS yang saat ini menggunakan modul bateri atau dikenal dengan istilah ‘Storage’ yang sudah banyak dipasang di US dan di Eropa, menawarkan harga jual listrik berkisar 4-6 cent per kWh”.
Riki menyampaikan bahwa Buku Putih layak pula menjelaskan berapa perbedaan harga listrik tanpa insentif pemerintah versus dengan insentif pemerintah, karena sejauh ini insentif pemerintah paling banyak diberikan kepada geothermal/panas bumi dibandingkan dengan energi terbarukan (ET) lainnya seperti PLTMH, PLTS, Biofuel, dll.
“Buku Putih harus tegas dalam meminta insentif yang diperlukan kepada pemerintah agar harga listrik PLTP menjadi lebih kompetitif. Sangat perlu juga memberikan beberapa harga uap dan listrik geothermal/panas bumi dari berbagai belahan dunia,” ujar Riki agar pemerintah dan DPR lebih meyakini Buku Putih ini.
“Lihat saja saat ini harga listrik PLTP yang berjalan itu (lebih dari 25 tahun) semua di bawah 10 cent per kWh,” ditegaskan Riki. Bahkan ada pengembang swasta di Sumatra yang menurunkan harga jual listrik dari sekitar 12 cent per kWh menjadi 8,1 cent per kWh.
Riki menambahkan, bahwa kontrak dengan PLN sejatinya adalah yang paling bankable karena terbukti sudah lebih dari 30 tahun tidak ada kegagalan PLN dalam pembayaran. “Power Wheeling yang masih debatable itu tidak berani memberikan jaminan penawaran untuk 30 tahun,” ucap Riki mengingatkan.
Riki melanjutkan, Buku Putih layak pula untuk menghitung perpanjangan kontrak yang dari 37 tahun menjadi penambahan waktunya agar IRR dan harga listrik menjadi kompetitif.
Sedangkan mengenai IRR 14% proyek ET itu adalah kondisi ideal 30 tahun lalu sebelum reformasi dan bukan kondisi hari ini yang telah masuk pada era transisi energi dunia untuk mencapai NZE di tahun 2060. “Bunga US dollar saja tidak ada yang dua digit hari ini dan tidak ada gunanya untuk mengusahakan harga listrik 16 cent per kWh atau IRR 14%,” jelasnya.
Dia menambahkan, Buku Putih harus pula dites dengan LCOE harga listrik yang dikeluarkan oleh IRENA, antara 3,6 cent dan maksimum 13,4 cent per kWh untuk Geotermal/Panas Bumi selama 30 tahun.
Riki melanjutkan, hari ini masalah risiko panas bumi bukan lagi eksplorasi karena pemerintah lewat Ditjen EBTKE Kementerian ESDM dan Kementerian Keuangan telah mencarikan biaya eksplorasi untuk mempercepat panas bumi di Indonesia yang dananya di pegang oleh PT SMI (Persero) dengan mendapatkan dukungan dari World Bank sebesar sekitar US550 juta.
“Insentif eksplorasi tidak hanya berupa Government Drilling, tetapi juga ada BUMN Drilling dan GREM untuk Swasta yang apabila gagal, maka dapat penghapusan pinjaman sebesar 50%,” ujar Riki.
Dia menjelaskan risiko yang ditanggung Pemerintah itu adalah risiko akibat tender IUP/WKP masih kelas Sumberdaya dan bukan kelas Cadangan. Apabila kelas cadangan IUP/WKP sudah dilakukan oleh pemerintah maka selebihnya itu (sumur ekploitasi) harus ditanggung pengembang.
Di masa lalu, tender IUP/WKP belum ada kelas Cadangan dan masih berdasarkan kelas Sumberdaya. Oleh sebab itu, eksplorasi dilakukan oleh pengembang. “Angka yang dikeluarkan dalam Tender IUP/WKP pada saat itu kebanyakan salah tebak karena belum ada sumur eksplorasinya, bagaikan membeli kucing dalam karung dan inilah yang disebut risiko geothermal itu tinggi,” tuturnya.
Riki melanjutkan, risiko panas bumi yang dapat diklaim kepada pemerintah itu bukan pada tahapan sumur ekploitasi (sumur pengembangan) setelah diketahui luasan cadangan terbukti. Karena itu pengembang geothermal membutuhkan Geologist, Geophysics, Geochemist dan Drilling yang andal.
Riki mengatakan, definisi kelas cadangan Geotermal sudah ada standarisasinya dalam JORC. Menurutnya, sulit mengatakan data pemerintah itu tidak berkualitas karena penilaiannya ada pada JORC. Apabila penilaian JORC tidak mensahkan eksplorasi pemerintah maka pengeboran eksplorasi dianggap belum terbukti kelas Cadangan.
Riki menyampaikan pula risiko terkait TKDN yang jelas kuat kebijakannya dari Kementerian Perindustrian. Namun Permen Perindustrian tidak mendorong hilirisasi dengan mengharuskan kalimat TKDN pada tender pengembang. Sebaiknya, Kementerian Perindustrian itu mengambil contoh dari negara yang sukses dalam mendorong TKDN seperti di Turkiye.
“Pemerintah melalui Kemenperin diharapkan segera menerbitkan regulasi untuk memberikan insentif selama 7 tahun bagi teknologi yang pabriknya dibangun di Indonesia, sehingga hilirisasi dapat segera berjalan,” ujarnya.
Turkiye sendiri menerapkan jenis produk pabrikan pembangkit yang dibangun dengan teknologi di negerinya sehingga banyak pabrikan dari US dan Eropa membangun jenis produk pabrikan di Turkey dengan mendapatkan insentif kenaikan harga listrik untuk 5-7 tahun (Steam Turbine sebesar US 1,3 cent per kWh; Generator/Power Electronic sebesar US 0,7 cent per kWh; dan Steam injector sebesar US 0,7 cent per kWh).
Terkait ESG atau pelaksanaan safeguard lingkungan dan sosial, yang saat ini semakin banyak penolakan masyarakat terhadap proyek geotermal, menurut Riki menjadi risiko tersendiri. Pemda juga dinilainya masih saja mengharapkan bagian saham 15% seperti di migas sehingga mengakibatkan kurang sepenuhnya membantu target pemerintah pusat. Padahal pemerintah pusat sudah memberikan yang terbaik untuk pemda dengan diterbitkannya regulasi Bonus Produksi.
“Dukungan ESG menjadi risiko pula apabila BKPM dan kementerian regulator/teknis tidak serius turun ke daerah mendampingi investasi pengembangan ET, geothermal/panas bumi di Indonesia,” jelasnya.
Riki yang mantan Direktur Utama GeoDipa menegaskan bahwa dirinya memiliki visi yang sama dalam mempercepat geothermal/panas bumi di Indonesia. “Saya telah berperan penting dalam menjadikan GeoDipa sebagai Government Drilling kepada pemerintah di samping membawa ADB untuk memberikan investasi sekitar US350 juta pada proyek Dieng dan Patuha unit II, masing-masing 55MW,” ujarnya.
Riki juga menyampaikan bahwa dirinya juga ikut dalam Tim Amoseas di tahun 1999 telah memperjuangkan harga jual listrik JOC Darajat dari sekitar US 7 cent per kWh menjadi US 4,2 cent per kWh dengan menambah kontrak operasi selama 15-20 tahun, agar operasi Geotermal Chevron Texaco berjalan.
Saat itu, pimpinan Tim Negoisasi Listrik Swasta PLN adalah Samsudin Warsah, yang belakangan Samsudin di tahun 2002 ditugaskan PLN menjabat sebagai Dirut pertama PT Geo Dipa Energi yang sahamnya antara PLN dengan Pertamina, sebelum PT GeoDipa menjadi Persero di tahun 2011 (Geo Dipa adalah singkatan dari Geotermal Dieng dan Patuha).
Sebagai penutup, Riki mengharapkan, Indonesia dapat melakukan penambahan kapasitas PLTP sesuai RUPTL PT PLN (Persero) pada 2021-2030 dengan total PLTP berada sekitar 3.355 MW. “Buku Putih diharapkan ada kelanjutannya oleh LPEM FEB UI yang bekerja sama dengan Sustainable Energy Systems and Policy Research (SESP), Fakultas Teknik Universitas Indonesia dan ahli hukum energi dengan dukungan penuh dari Asosiasi Panas Bumi Indonesia (API)” pungkas Riki