Friday , November 22 2024

Peran Gas Bumi Perlu Dioptimalkan di Era Transisi Energi

JAKARTA – Evaluasi harga gas bumi tertentu (HGBT) sebesar maksimal
US$6 per MMBTU yang sudah diberlakukan selama dua tahun merupakan langkah tepat untuk bisa membantu mengoptimalkan potensi gas untuk berperan pada era transisi energi saat ini.

Aris Mulya Azof, Chairman Indonesia Gas Society, mengungkapkan harga
gas yang ditetapkan pemerintah tersebut sepintas memberikan manfaat
besar bagi industri hilir, khususnya untuk meningkatkan daya saing produk yang dihasilkan. Namun dalam implementasinya, ternyata target
pemerintah agar industri hilir bisa berkembang dan lebih banyak
menyumbangkan penerimaan kepada negara dari sisi perpajakan justru
tidak sepenuhnya tercapai. “Di sisi lain, pemerintah sudah rela berkorban
banyak dengan mengurangi bagiannya di sisi hulu demi terwujudnya
HGBT,” ujar Aris saat menjadi pembicara pada acara Media Briefing IPA
Convex 2023 “Nilai Tambah Pemanfaat Gas Bumi pada Era Transisi Energi” di Jakarta, Kamis (16/03/2023).

Ditambahkan Aris, hal itu menjadi tidak sesuai dengan target keseluruhan
yang ingin dicapai. Apalagi dalam pelaksanaan kebijakan tersebut
ternyata tidak sesederhana yang dibayangkan. Peraturan yang ada
menyebutkan bahwa diperlukan kajian terhadap industri tertentu yang
dapat memperoleh gas bumi dengan harga khusus.
“Mungkin ada pertimbangan bagaimana harga US$6 per MMBTU dapat
sedikit lebih tinggi sehingga harga tersebut bisa juga berpihak pada sector
hulu. Pengorbanan pemerintah (di hulu) belum sebanding dengan
manfaat yang dihasilkan pada sektor hilir,” katanya.

Dia menjelaskan, pemerintah menargetkan kebijakan HGBT bisa memberikan efek berganda, namun hingga kini hal tersebut belum terealisasi. Padahal pengembangan gas bumi pada era transisi energi mendesak untuk segera dilakukan karena sumber energi ini dianggap merupakan energi fosil yang paling bersih daripada batubara dan minyak bumi.
“Kebijakan ini tidak bisa permanen. Mungkin harga US$6 bisa dikoreksi
akibat penerimaan negara secara total terus berkurang. Kebijakan HGBT
harus dievaluasi untuk menghitung efek berganda dan nilai tambah yang
diharapkan pemerintah, seperti meningkatkan kapasitas produksi,
meningkatkan investasi baru, meningkatkan efisiensi proses produksi
sehingga produk yang dihasilkan menjadi lebih kompetitif dan meningkatnya penyerapan tenaga kerja,” jelas Aris.

Berdasarkan data LPEM Universitas Indonesia kontribusi perpajakan tujuh
industri yang mendapatkan HGBT memang mengalami peningkatan tipis
dari 2020, yaitu sebesar Rp13.323 miliar menjadi Rp15.896 miliar pada 2021 Namun dari sisi lain ternyata terjadi penurunan, misalnya pada tahun 2020 realisasi investasi di sektor hilir menurun dari Rp120.059 miliar menjadi Rp93.521 miliar.

Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, berharap
pemerintah dapat melihat permasalahan yang ada dengan menggunakan
helicopter of view yang lebih luas. Pemerintah harus bisa menelurkan
kebijakan yang proporsional.

Dia mengingatkan migas ke depan masih sangat diperlukan. Kendati
Energi Baru Terbarukan (EBT) menjadi focus pemerintah, namun
berdasarkan kajian sejumlah lembaga menunjukkan adanya peningkatan
kebutuhan energi pada sisi volume. Meskipun secara persentase terlihat
menurun. Oleh karena itu, perlakuan terhadap industri hulu migas tidak
boleh dilakukan serampangan.
“Apakah ada potensi gagal pada pengembangan EBT? Menurut saya hal
itu sangat besar kemungkinannya, terkait masalah pembiayaan dan teknis
penyediaannya sendiri. Selain panas bumi, pengembangan EBT sangat
bergantung pada cuaca. PLTA bergantung pada debit air. Begitu juga dengan PLTS. Ini alasan mengapa gas bumi menjadi penting untuk diperhatikan,” ujar Komaidi.

Menurut dia, penggunaan gas di masa transisi energi bukan hanya terjadi
di Indonesia, tetapi juga di berbagai negara lainnya seperti Amerika Serikat, Jerman, Rusia, China dan Australia. Hal itu membuat persaingan memperebutkan gas bumi akan sangat besar di kemudian hari. “Kita punya gas harus dioptimalkan dan dijaga supaya jangan sampai kebijakan
HGBT ini membuat potensi gas bumi Indonesia tidak teroptimalisasi,” ungkapnya.

Menurut Komaidi, harga gas bumi bukan satu-satunya variabel penentu
pertumbuhan di sektor hilir. Ada 15 variabel lainnya yang juga harus
dilihat oleh pemerintah untuk diperbaiki guna meningkatkan daya saing
usaha di sektor hilir. “Variabel daya saing ada 15, termasuk salah satunya
harga gas bumi. Ada 14 variabel lainnya yang dapat memperngaruhi daya
saing di sektor hilir,” pungkas dia.

Direktur Eksekutif Indonesian Petroleum Association, Marjolijn Wajong
yang juga menjadi pembicara pada acara tersebut mengatakan, saat ini
investor migas harus lebih selektif dalam menempatkan investasinya di
suatu negara. Pasalnya, perusahaan-perusahaan migas global telah
membagi portofolio investasi mereka antara energi dan enegri baru
terbarukan. “Dengan berkurangnya porsi investasi di energi fosil, investor
harus benar-benar mempertimbangkan dimana mereka akan berinvestasi.
Hal ini harus termasuk menjadi pertimbangan semua pemangku
kepentingan termasuk pemerintah agar produksi gas bumi tetap terjaga
dan tidak terjadi krisis energi,” kata dia

Cek juga

Dukung Keberlanjutan Energi, PT Pertamina EP Berpartisipasi di ADIPEC 2024

JAKARTA, Fokusenergi.com – PT Pertamina EP selaku Regional Jawa Subholding Upstream Pertamina, menjadi salah satu …