JAKARTA – PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) terus memperkuat kelangsungan bisnis perusahaan melalui penerapan Business Continuity Management System (BCMS) guna menjawab tantangan industri gas bumi. BCMS memungkinkan PGN untuk mengidentifikasi dampak risiko bisnis (Business Impact Analysis), menyusun strategi mitigasi, serta mengembangkan prosedur pemulihan yang efektif demi memastikan layanan optimal kepada pelanggan.
Direktur Manajemen Risiko PGN Eri Surya Kelana, mengatakan sebagai perusahaan energi yang mengelola infrastruktur gas bumi nasional, PGN berkomitmen untuk meningkatkan ketahanan operasional melalui BCMS. Sejak 2022, PGN telah mengadopsi sistem ini dan memperoleh sertifikasi ISO 22301:2019 pada 2024 & 2025, yang menjadi bukti standar internasional dalam pengelolaan kelangsungan bisnis.
“BCMS ini diaktifkan ketika terjadi major issue yang mengancam kelangsungan bisnis perusahaan. Untuk pelaksanaanya, ada 55 BCP (Bussiness Continuity Plan)” ujarnya dalam webinar ‘Anticipating Business Risk to Secure Growth in The Energy and Mineral Resources Sector’ yang digelar E2S di Jakarta, Rabu, (10/12/2025).
Eri menekankan PGN selalu mengidentifikasi risiko-risiko yang terjadi pada saat pembangunan maupun pengelolaan infrastruktur gas bumi, termasuk yang berlokasi di lepas pantai karena bersinggungan dengan ekosistem laut seperti Pipa SSWJ (South-Sumatera-West-Java). Dari identifikasi risiko, PGN dapat memitigasi risiko yang mungkin terjadi pada bisnis yang memiliki tingkat hazard cukup tinggi. Sistem manajemen risiko bertujuan untuk mengurangi dampak negatif dan memaksimalkan dampak positif dari aktivitas operasional perusahaan yang mencakup aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan.
“Risk management yang ada di PGN basicnya Permen BUMN 02/2023, di mana mewajibkan Perusahaan melakukan tata kelola yang baik. Di PGN sendiri, kami sudah memiliki Direktorat Manajemen Risiko, yang membuktikan komitmen perusahaan dalam mengelola risiko. Risk owner menjadi garda terdepan untuk melakukan risk assessment dan mengusulkan risk treatment terhadap potensi risiko di fungsinya,” ungkap Eri.
Selain BCMS, Ia menjelaskan bahwa perusahaan juga memiliki berbagai perangkat manajemen risiko lainnya, seperti operational risk, project & counterparty risk, contingency plan, strategic risk, stress testing dan emerging risk report. Monitoring juga terus dilakukan secara rutin untuk melihat pengelolaan risiko, termasuk terkait aspek HSSE.
“PGN menegaskan bahwa manajemen risiko berperan penting dalam memastikan berjalannya operasional perusahaan sebagai backbone infrastruktur gas bumi nasional. Dengan risiko yang semakin kompleks, kami memperkuat risk intelligence agar PGN tetap tangguh, adaptif, dan berkelanjutan,” kata Eri.
Pada kesempatan yang sama, Nico Dhamora, Vice President Risk Strategy & Governance Pertamina International Shipping (PIS), mengungkapkan bahwa PIS telah melakukan transformasi manajemen risiko dari fungsi pendukung menjadi penggerak strategis melalui penguatan insfrastruktur, digitalisasi kontrol, dan internalisasi budaya risiko.
“Kadang-kadang ketika terjadi krisis semua menjadi panik, jadi harusnya ada culture. Jadi kalau ada krisis, ada tata kelolanya,” kata Nico.
Selain itu, kata Nico, PIS memiliki karakteristik yang berbeda dengan perusahaan lain. Dalam penggunaan digitalisasi tidak hanya melihat dari sisi data. “Jadikan sebagai early warning. Di PIS kapalnya ada yang di luar Indonesia. Kita harus tahu posisi kapal dimana,” ungkap Nico.
Dia mengungkapkan manajemen risiko tidak hanya melibatkan upaya internal, tetapi juga melibatkan kolaborasi dengan berbagai pihak eksternal. PIS terus berkomunikasi dengan regulator, pemasok, dan klien untuk memastikan bahwa setiap tahap operasional memenuhi standar yang telah ditetapkan. “Harus pro aktif, fungsi manajemen risiko tidak bisa menunggu. Jadi ada komunikasi dua arah. Ada komunikasi dan monitoring. Efisiensi bisa terjadi kalau ada kolaborasi dan komunikasi,’ ungkap Nico.
Sementara itu, Muhammad Rizwi JH, Sekretaris Direktorat Jenderal Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), mengungkapkan Kementerian ESDM menaruh perhatian serius terhadap penerapan manejemen risiko. Untuk itu, pentingnya mitigasi terhadap risiko yang dapat membahayakan operasi di sektor energi.
Saat ini, kata Rizwi, kemajuan sistem informasi sejalan dengan munculnya risiko-risiko baru di sektor energi, sehingga perlu kolaborasi untuk membangun system siber yang aman dan mendorong kemandirian teknologi nasional.
“Dalam era digital yang terus berkembang pesat keamanan informasi menjadi hal krusial. Ancaman seperti seangan cyber dapat menimbulkan dampak merusak, maka penting melakulan pendekatan terstruktur dan terukur,” kata Rizwi.
FOKUS ENERGI Berita Energi Terkini