Fokusenergi.com, Jakarta – Pemanfaatan gas bumi sebagai jembatan transisi energi dan untuk mendorong pengembangan industri petrokimia berpotensi dapat menciptakan nilai tambah ekonomi yang signifikan. Pemanfaatan gas bumi untuk transisi energi secara relatif berpotensi dapat mengurangi biaya transisi energi yang diproyeksikan masih cukup mahal. Kegiatan usaha hulu gas bumi yang sudah relatif lebih mapan, menyebabkan kebutuhan investasi serta harga jual dari gas yang akan diproduksikan lebih mudah untuk diprediksikan.
Pemanfaatan gas bumi untuk mendorong pengembangan industri petrokimia dalam negeri berpotensi memberikan dampak positif terhadap perekonomian secara keseluruhan. Data menunjukkan, kontribusi industri petrokimia terhadap penerimaan pajak, serapan tenaga kerja, dan realisasi investasi tercatat sebagai salah satu yang terbaik.
Pandangan dan catatan ReforMiner terhadap nilai tambah gas bumi dalam kebijakan transisi energi dan mendorong pengembangan industri petrokimia Indonesia adalah sebagai berikut:
ReforMiner menilai gas bumi merupakan sumber energi yang dapat menjadi pilihan utama dalam pelaksanaan transisi energi. Dari sisi jumlah, ketersediaan gas bumi cukup memadai. Selain itu, dari perspektif lingkungan, gas bumi juga relatif lebih ramah lingkungan jika dibandingkan dengan minyak bumi dan batubara.
Sejumlah publikasi -diantaranya dari Pusat Data dan Teknologi Informasi KESDM, 2017- menginformasikan bahwa emisi pembakaran gas bumi relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan minyak bumi dan batubara. Jika dibandingkan dengan minyak bumi, emisi pembakaran gas bumi lebih rendah sekitar 20 g CO2e/MJ. Sementara jika dibandingkan dengan batubara, emisi pembakaran gas bumi lebih rendah sekitar 43 g CO2e/MJ.
Simulasi ReforMiner menemukan, jika mengacu pada catatan poin 2 dan terkait volume konsumsi minyak bumi Indonesia telah mencapai kisaran 1,6 juta barel per hari, perbedaan emisi pembakaran antara minyak bumi dan gas bumi selama satu tahun dapat mencapai kisaran 72,33 juta ton CO2e. Artinya jika Indonesia mengkonversi sekitar 50 % konsumsi minyaknya dengan menggunakan gas bumi, hal tersebut sudah akan menurunkan emisi sekitar 36,16 juta ton CO2e.
Terkait volume konsumsi batubara Indonesia tahun 2023 yang diproyeksikan mencapai kisaran 195,9 juta ton dan mengacu pada catatan poin 2 tersebut, perbedaan emisi pembakaran antara batubara dan gas bumi selama satu tahun dapat mencapai kisaran 246,71 juta ton CO2e. Artinya jika Indonesia mengkonversi sekitar 50 % konsumsi batubaranya dengan menggunakan gas bumi, hal tersebut sudah akan menurunkan emisi sekitar 123,35 juta ton CO2e.
Peningkatan pemanfaatan gas bumi dapat membantu merealisasikan komitmen Indonesia menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 29 % atau setara dengan 834 juta ton CO2e pada tahun 2030 dari kondisi Business as Usual (BaU). Dari target tersebut, sektor energi mendapatkan porsi penurunan emisi sebesar 314 juta ton CO2e.
Target penurunan emisi untuk sektor energi tersebut sudah akan dapat dicapai jika Indonesia dapat mengkonversi seluruh konsumsi minyak bumi dan batubara dengan menggunakan gas bumi. Penurunan emisi yang dihasilkan dari konversi konsumsi seluruh minyak bumi dan batubara Indonesia dengan gas bumi dapat mencapai kisaran 319 juta ton CO2e, lebih besar dari target penurunan emisi pada sektor energi.
Gas bumi juga memiliki peran strategis untuk mendorong pengembangan industri petrokimia dan nilai tambah ekonomi Indonesia. Untuk industri petrokimia, gas bumi memiliki dua peran penting sekaligus, yaitu untuk bahan baku dan sumber energi.
Peluang untuk dapat mendorong pengembangan industri petrokimia Indonesia masih cukup besar. Data menyebutkan, dengan kapasitas produksi petrokimia Indonesia yang saat ini sekitar 7,1 juta ton per tahun, sekitar 70 % kebutuhan petrokimia untuk domestik masih harus dipenuhi dari impor.
Berdasarkan perhitungan ReforMiner, kebutuhan gas untuk bahan baku industri petrokimia domestik dengan kapasitas 7,1 juta ton per tahun tersebut dapat mencapai kisaran 716 BBTUD. Kebutuhan gas untuk bahan baku dan sumber energi untuk industri petrokimia berpotensi meningkat signifikan jika pemerintah menerapkan kebijakan substitusi terhadap sekitar 70 % kebutuhan petrokimia yang masih diimpor dengan produksi dalam negeri.
Potensi penciptaan nilai tambah ekonomi dari pemanfaatan gas bumi untuk industri petrokimia dalam negeri berpotensi cukup signifikan. Data menunjukkan kinerja laba/rugi, kinerja pajak, komitmen investasi, dan penyerapan tenaga kerja dari industri petrokimia tercatat sebagai salah satu yang terbaik dalam kelompok tujuh industri yang memperoleh kebijakan harga gas khusus.
Data menunjukkan, industri petrokimia mencatatkan laba sebesar Rp 7,30 triliun pada tahun 2021, meningkat signifikan setelah merugi sebesar Rp 862 miliar pada tahun 2020. Pembayaran pajak industri petrokimia pada tahun 2021 sebesar Rp 4,09 triliun, terbesar dalam kelompok industri yang memperoleh kebijakan harga gas khusus. Realisasi investasi kumulatif industri petrokimia untuk tahun 2020-2021 juga tercatat sebagai yang terbesar yaitu sebesar Rp 23,61 triliun. Serapan tenaga kerja pada industri petrokimia juga tercatat sebagai salah satu yang terbesar yaitu sekitar 20.000 tenaga kerja.
Catatan pada poin-poin di atas memberikan gambaran dan menegaskan bahwa Indonesia berpotensi memperoleh nilai tambah ekonomi yang cukup signifikan jika dapat memanfaatkan gas bumi untuk transisi energi dan untuk mengembangkan industri petrokimia nasional. Dengan biaya yang relatif lebih murah, pemanfaatan gas bumi sudah akan dapat mencapai target penurunan emisi dalam jumlah tertentu. Sementara dengan memanfaatkan gas bumi untuk menghasilkan lebih dari 40 jenis produk petrokimia, hal tersebut tidak hanya strategis bagi kepentingan industri hilir petrokimia dan industri turunannya, tetapi juga memiliki makna penting bagi keberlanjutan kegiatan usaha hulu gas bumi karena masih akan terus dibutuhkan.(Komaidi Notonegoro – RefroMiner)