Direktur Jenderal Ketenagalistrikan (Dirjen Gatrik) kembali berganti setelah sebelumnya dijabat oleh Rida Mulyana yang beralih posisi sebagai Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM). Rida Mulyana dilantik pada tanggal 9 Agustus 2022 menggantikan Ego Syahrial yang telah memasuki masa pensiun terhitung 1 Agustus 2022, dan Pelaksana Tugas (Plt) Dirjen dirangkap oleh Dadan Kusdiana yang merupakan Dirjen Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE).
Selama lima (5) bulan posisi tersebut dirangkap oleh Plt, barulah pada hari Jum’at 17 Februari 2023 Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (MESDM) Arifin Tasrif Jisman P. Hutajulu sebagai Dirjen Gatrik yang baru. Sosok Jisman tidaklah asing dalam lingkungan birokrasi, khususnya Kementerian ESDM yang mengawali karirnya sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) pada tahun 1993. Setelah menjadi staf, pada tahun 2000, Jisman memperoleh kepercayaan sebagai Kepala Seksi (Kasie/eselon IV) Analisis Harga Listrik Distribusi. Dan, setahun kemudian ditetapkan sebagai Kasie Harga Jual Tenaga Listrik. Karir yang bersangkutan terus menanjak, sehingga pada tahun 2018 ditetapkan menjadi Direktur Pembinaan Program Ketenagalistrikan, lalu setelah bertugas empat (4) tahun menjabat sebagai Direktur Pembinaan Pengusahaan Ketenagalistrikan.
Kerjasama Transisi Energi
Ada beberapa tugas yang dibebankan oleh MESDM dan harus diselesaikan oleh Dirjen Gatrik yang baru, diantaranya adalah penyediaan listrik untuk ibukota negara, meningkatkan rasio elektrifikasi dan rasio desa berlistrik. Selain itu, Dirjen Gatrik juga harus dapat meningkatkan pasokan listrik menyala 24 jam, melaksanakan subsidi listrik tepat sasaran dan tarif listrik yang kompetitif, meningkatkan konsumsi listrik per kapita, serta melaksanakan transisi energi. Tantangan Dirjen Gatrik yang baru dalam ruang lingkup nasional dan internasional tidaklah ringan, khususnya menyangkut isu dan permasalahan kebijakan transisi energi, energi alternatif atau istilahnya baru dan terbaharukan yang sedang menjadi perhatian dunia.
Secara nasional, rasio elektrifikasi, mengacu pada publikasi KESDM, rasanya BUMN Perusahaan Listrik Negara (PLN) telah berkinerja relatif baik, yangmana akses listrik telah sampai ke pelosok negeri dengan tingkat elektrifikasi sebesar 99,63% pada tahun 2022. Dan, pemerintah melalui MESDM telah memiliki posisi yang jelas atas klausul skema power wheeling yang terdapat dalam materi Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbaharukan (RUU EBET). Sikap pemerintah sebagaimana naskah yang telah disampaikan oleh MESDM dihadapan Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) adalah tidak memasukkannya dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU EBET.
Namun, DPR melalui Panja Komisi VII dalam proses penetapan RUU EBET ini menjadi UU, tentu saja berpotensi memasukkan kembali klausul power wheeling yang telah dikeluarkan dari DIM oleh pemerintah tersebut. Khususnya, adalah pasal yang berhubungan dengan penggunaan jaringan PLN oleh pembangkit (power wheeling) oleh pihak swasta untuk menghasilkan listrik yang akan dijual kepada konsumen masyarakat. Inilah merupakan tantangan Dirjen Gatrik Jisman P. Hutajulu, disebabkan oleh adanya upaya sebagian anggota DPR tetap ngotot memasukkan klausul ini, serta ketegasan dan konsistensi pemerintah menolaknya. Alasan penolakan pemerintah atas skema mengalirkan daya (power) dengan cara menumpang pada jaringan (wheeling) milik PLN tentu saja agar publik atau rakyat Indonesia tidak dirugikan! Terlebih lagi, secara konstitusi ekonomi (Pasal 33 UUD 1945) penolakan pemerintah yang harus didukung oleh konsumen dan publik sangat beralasan, bahwa cabang produksi hajat hidup orang banyak tidak boleh diserahkan ke pasar bebas (liberalisasi).
Tantangan lainnya, yaitu terkait beberapa Peraturan Menteri (Permen) yang selama ini memberikan ruang bagi peran korporasi swasta, salah satunya adalah Permen ESDM Nomor 1 Tahun 2015 tentang Kerjasama Penyediaan Tenaga Listrik Dan Pemanfaatan Bersama Jaringan Tenaga Listrik dan Permen ESDM No.11/2021, khususnya Pasal 46 dan 47 yang memuat adanya kerjasama swasta dengan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) PT. Perusahaan Listrik Negara (Persero) menyediakan pembangkit listrik lewat skema Independent Power Producer (IPP) dan mekanisme pembayaran Take Or Pay (TOP). Skema ini jelas tidak imbang apabila daya listrik tersedia tidak mampu diserap oleh PLN dan atas hal ini diwajibkan membayar kepada pihak swasta, IPP.
Padahal, selain pembangkit listrik swasta IPP itu, dihulu pun pemerintah telah memberikan ruang kepada swasta untuk memasok bahan baku batubara sebagai salah satu bahan bakar untuk mengoperasikannya. Faktor harga per metrik ton batubaranya juga menjadi masalah tersendiri karena selalu berfluktuasi berdasar harga keekonomian dunia. Pada posisi inilah kesulitan PLN menjadi menumpuk-numpuk dalam mengelola satuan Harga atau Biaya Pokok Produksi (HPP/BPP) sebagai pembentuk Tarif Daya Listrik (TDL) yang akan dibebankan kepada konsumen akhir. Jika terjadi kenaikan harga batubara meskipun telah ada kebijakan kewajiban harga pasar domestik (Domestic Market Obligation/DMO) tetap saja pemerintah harus mengkompensasinya walaupun Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) telah defisit setiap tahunnya.
Dampak dari kebjakan ini, selain keuangan PLN yang terbebani, keuangan negara yang berasal dari penerimaan pajak masyarakat juga seolah-olah hanya dinikmati oleh korporasi swasta yang memanfaatkan jaringan listrik milik negara tersebut. Data kelebihan pasokan yang disampaikan oleh Direktur Utama (Dirut) PLN Darmawan Prasodjo pada tahun 2021, misalnya telah membuktikan kapasitas terpasang listrik yang sebesar 349 ribu Giga Watt hour (GWh) hanya menghasilkan energi listrik yang terjual sebesar 257 ribu GWh. Artinya, terdapat selisih 26,3% yang menjadi tidak terpakai (idle), dan apabila terdapat kenaikan sebesar 56% ditahun 2022. Dengan asumsi biaya pokok perolehan listrik rata-rata adalah Rp 1.333 per kWh bisa dipastikan potensi kehilangan pendapatan PLN kurang lebih sejumlah Rp 123 triliun lebih ditahun 2021 dan meningkat menjadi Rp246 triliun pada tahun 2022.
Secara bilateral dan multilateral (internasional), pemerintah dihadapkan oleh masalah tingkat kepercayaan (trust) dari negara-negara donor yang peduli terhadap isu kebijakan transisi energi. Hal ini terkait dengan dukungan lembaga donor melalui skema Just Energy Transition Partnership (JETP) untuk mendorong transisi energi yang terjangkau dan berkelanjutan. Jepang melalui lembaga resminya, yaitu Japan Bank for International Cooperation (JBIC) menjadi promotor bagi kerjasama perdagangan (ekspor dan impor) dan kegiatan perekonomian lainnya di berbagai belahan dunia telah menyatakan komitmen pendanaan. Disamping itu, The Japan International Cooperation Agency (JICA) sebagai lembaga pendampingan pembangunan resmi (Official Development Assistance/ODA) juga menyediakan dana hibah dan pinjaman serta bantuan teknis secara langsung kepada negara-negara berkembang. Tidak kurang US$300-500 miliar disediakan oleh JBIC untuk mekanisme transisi energi dan dikoordinasikan oleh Bank Pembagunan Asia (Asian Development Bank/ADB) yang juga dipimpin oleh warga negara Jepang, Masatsugu Asakawa.
Untuk maksud dan tujuan kerjasama transisi energi inilah, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian (Menko Perekonomina) Airlangga Hartarto bersama dengan Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita bertemu dengan Gubernur JBIC yang baru, Nobumitsu Hayashi di Hotel Imperial Tokyo, Jepang pada Senin 25 Juli 2022 lalu. Nobumitsu Hayashi adalah Gubernur JBIC yang menggantikan pejabat sebelumnya Maeda Tadashi. Begitu juga dengan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati telah melakukan pertemuan bilateral dengan Presiden JICA, Tanaka Akihiko, pada Selasa 14 Februari 2023.
Kinerja dan prestasi Jisman P. Hutajulu sebelum menjadi Dirjen Gatrik yang pernah mendapatkan penghargaan Satyalancana Karya Satya 10 tahun pada tahun 2003 dan penghargaan Satyalancana Karya Satya 20 tahun pada 2013 menjadi tumpuan harapan publik dan pemerintah Indonesia menyelesaikan kebijakan transisi energi. Berbagai macam program internasional pun telah diikutinya, antara lain Energy Efficiency Visit di Denmark pada tahun 2017, The 37th ASEAN Minister on Energy Meeting (AMEM) di Thailand pada tahun 2019, serta mengikuti Konferensi Perubahan Iklim PBB COP 26th di Glasgow, Inggris pada 2021 semakin meyakinkan publik akan kiprahnya. Supaya efektif dan efisien mengemban amanahnya Dirjen Gatrik juga harus menguatkan kepercayaan publik nasional dan internasional serta mampu mengkonsolidasikan kepentingan negara diatas kepentingan pribadi dan kelompok terkait masalah dukungan pendanaan bilateral dan multilateral ini, khususnya dari Jepang. Sebab, karakter dan budaya masyarakat Jepang dasarnya adalah kejujuran sebagai bagian dari saling percaya (trust) serta ketaatan pada konstitusi dan per-UU-an berlaku tanpa materi yang bertentangan.
Oleh karena itu, komunikasi dengan berbagai kelompok pemangku kepentingan (stakeholders) masyarakat kelistrikan, khususnya konsumen dan pemerhati energi akan memudahkan kerja Dirjen Gatrik. Termasuk penguatan Kementerian Perencanaan Pembangunan (PPN)/Bappenas yang sejak Orde Baru menjadi mitra strategis dari JBIC dan JICA adalah faktor kunci keberhasilan (key success factor) dalam memuluskan dukungan bagi kebijakan transisi energi. Untuk kerjasama kepemerintahan (G to G) dan pendanaan inilah, lembaga donor Jepang lebih mempercayai lembaga dan sosok pejabat pemerintahan (Menteri) Republik Indonesia yang tidak memiliki konflik kepentingan dengan bisnis disektor energi. Mudah-mudahan Dirjen Gatrik Jisman P. Hutajulu dengan kinerja dan rekam jejak prestasi birokrasinya mampu memenuhinya, Selamat bertugas Pak Dirjen, semoga berhasil!( Defiyan Cori
Ekonom Konstitusi, Ex Participant of JICA Friendship Programme for 21st Century in Japan, 1994)